“Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku” (Kel. 20:3)
RENUNGAN
Pak Matius merupakan salah seorang aktivis yang rajin di gerejanya. Suatu kali, dia izin untuk tidak ikut pelayanan di ibadah hari Minggu. Ketika ditanya oleh pendetanya, dia menjawab, “Maaf, Pak Pendeta, kali ini saya tidak bisa ikut karena ada hal penting yang harus saya lakukan. Kantor saya akan mengadakan gathering di luar pulau. Di sana tidak ada gereja, tetapi saya akan berdoa sendiri. Saya tidak enak hati dengan rekan-rekan di kantor kalau saya tidak ikut…”
Mendengar jawaban tersebut, Pak Pendeta menerangkan dengan lembut, “Betul, Pak Matius…. Bagus kalau kita mempunyai relasi pertemanan yang baik. Tetapi jangan sampai itu menjadi berhala.”
Pak Matius kaget. Dia menimpali, “Lo, Pak, saya masih orang Kristen, rajin ke gereja, bahkan setia melayani. Masa cuma izin sekali sudah dibilang menyembah berhala? Bapak jangan sembarangan menuduh orang ya!”
Jawaban Pak Pendeta itu sebenarnya sangat alkitabiah. Penyembahan berhala di masa modern sangat beragam bentuknya, tidak hanya berwujud pada ritual dan sesaji saja. Misalnya, seorang anak yang tidak bisa terlepas dari kecanduannya bermain mobile game, berarti dia sudah menjadikan permainan tersebut ilahnya. Orang tua Kristen yang masih melakukan penghitungan “hari baik” untuk menikahkan anaknya, karena takut malapetaka akan terjadi jika melanggarnya, sesungguhnya menandakan dia percaya ada kekuatan lain di luar Allah.
Dalam perintah pertama di Dasa Titah ini, Allah ingin agar umat-Nya menyembah Dia saja, Allah yang sejati. Artinya, jika mengaku menjadi umat Allah, maka kita tidak boleh berpaling kepada hal-hal lain yang membuat hati kita melekat dan bergantung kepadanya. Jika ada hal demikian, buanglah itu karena pengkhianatan kita itu akan sangat menyakiti hati Allah (Kel. 34:14). Padahal, Allah sudah rela menyerahkan Anak-Nya untuk menebus dosa-dosa kita.
PENGGALIAN
Formula dalam bahasa Ibrani yang digunakan dalam perintah ini (lō’ yihyeh/”jangan ada padamu”) menyatakan larangan untuk mempunyai relasi. Dalam hal ini, Allah menggambarkan relasi antara diri-Nya dengan bangsa Israel sebagaimana pernikahan, yang tidak boleh ada “orang ketiga.” Dalam konteks masa itu, bangsa Israel tidak boleh mempunyai relasi dengan dewa-dewa, termasuk memberi kurban (Kel. 22:20), menyebut nama (Kel. 23:13), sujud menyembah (Kel. 34:14), dan beribadah kepada mereka (Ul. 11:16).
Perlu diperhatikan bahwa Alkitab tidak semata melarang bangsa Israel untuk menyembah “ilah” lain. Tetapi, Alkitab dengan tegas menyatakan bahwa Allah adalah satu-satunya. Dewa-dewa sembahan bangsa lain (termasuk dewa-dewa yang disembah orang-orang di Timur Dekat Kuno waktu itu), hanyalah konsep manusia. Dewa-dewa tersebut sebenarnya tidak ada. Perhatikan ayat-ayat berikut (baca juga: Yes. 40:12-31; 43:8-13; 45:5-6; 46:5-13):
Sebab itu ketahuilah pada hari ini dan camkanlah, bahwa Tuhanlah Allah yang di langit di atas dan di bumi di bawah, tidak ada yang lain. (Ul. 4:32)
Beginilah firman TUHAN, Raja dan Penebus Israel, TUHAN semesta alam: “Akulah yang terdahulu dan Akulah yang terkemudian; tidak ada Allah selain dari pada-Ku.” (Yes. 44:6)
Jadi, sejak semula, Alkitab memang mengajarkan monoteisme (kepercayaan kepada satu Tuhan). Pada masa kini, hanya tiga agama yang meyakini ajaran monoteisme ini, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Tetapi perlu diperhatikan bahwa konsep monoteisme dalam ketiga agama tersebut tidak sama.
Namun demikian, bangsa Israel terus saja gagal menaati perintah ini. Sejak masuk tanah Kanaan, mereka sudah terpengaruh dengan dewa-dewa Kanaan (Baal, Asyera, dan Asytoret; mis. Hak. 2:13). Pada zaman raja-raja, banyak raja Israel yang jatuh juga di dalamnya. Contohnya, raja Ahab yang menyembah Baal (baca kisah nabi Elia melawan nabi-nabi Baal dalam 1Raj. 18) dan raja Manasye (yang sampai berani membuat rumah Tuhan di Yerusalem menjadi tempat pemujaan berhala, baca 1Raj. 21).
Di Perjanjian Baru, ajaran monoteisme ini juga dikuatkan kembali. Pada waktu dicobai, Tuhan Yesus menghardik Iblis: “Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!” (Mat. 4:10).
Sampai saat ini, orang-orang Kristen juga masih meneruskan perintah ini. Orang-orang Kristen menyembah hanya kepada satu Allah saja, yaitu Allah Tritunggal. Allah hanya satu, tidak ada yang lain, dan memiliki tiga pribadi, yaitu Allah Bapa, Allah Anak, yaitu Tuhan Yesus (Yoh. 1:1; 10:30; 14:9; Kol. 2:9), serta Roh Kudus (Kis. 5:3-4). Orang-orang Kristen pun dibaptis dalam nama Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus (Mat. 28:19).
(diolah dari berbagai sumber, terutama “The Ten Commandments: Ethics for the Twenty-first Century” karangan Mark F. Rooker, Nashville: B&H Academic, 2010).
PERTANYAAN DISKUSI
- Apa wujud pelanggaran perintah ini dalam kehidupan sehari-hari masa kini?
Panduan diskusi:
Martin Luther pernah berkata, “apapun yang membuat hatimu melekat kepadanya dan kamu bergantung kepadanya, itulah ‘allah’-mu.” Mungkin kita tidak secara ekstrim menyembah atau memberikan sesaji kepada dewa-dewa. Tetapi, apakah ada sesuatu yang membuat hati kita melekat dan kita menjadi bergantung? Misalnya, seorang pemuda yang sangat mencintai kekasihnya dan merasa tidak bisa hidup tanpanya, berarti dia sudah menjadikan kekasihnya itu tuhan dalam hidupnya. Pemuda yang seperti ini tidak akan segan-segan untuk meninggalkan imannya ketika kekasihnya itu membujuknya. Uang, kesehatan, hobi, karir, ambisi, keluarga, barang-barang elektronik, akun-akun media sosial, adalah sebagian contoh dari hal yang dapat menjadi berhala bagi orang Kristen masa kini.
Kemudian, jika ada sesuatu yang membuat kita takut secara berlebihan, sehingga meninggalkan kebenaran Alkitab, itu juga berhala. Seseorang yang takut kepada “roh-roh halus” (mungkin karena trauma pada masa kecil akibat terlalu banyak menonton film-film horor) berarti menganggap ada kuasa lain yang lebih besar dibanding Allah. Padahal Alkitab menyatakan: “Roh yang ada di dalam kamu, lebih besar dari pada roh yang ada di dalam dunia” (1Yoh. 4:4).
- Apa langkah praktis penerapan perintah ini dalam kehidupan sehari-hari?
Panduan diskusi:
Dalam Ul. 6:4-5, Allah berfirman: “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” Perhatikan dalam perintah ini, pengakuan akan Tuhan yang esa (satu-satunya, tiada yang lain) menjadi dasar untuk mengasihi Dia. Prinsipnya, kita harus merespons kasih Tuhan dengan melakukan segala sesuatu hanya satu tujuan, yaitu mengasihi dan memuliakan nama-Nya. Inilah yang harus kita evaluasi.
Benarkah kita sudah melakukan hal-hal ini untuk menyenangkan dan memuliakan Tuhan saja?
– Pelayanan di gereja. Apakah kita merasa ini “penampilan” untuk dilihat orang, atau sungguh-sungguh melayani Tuhan?
– Bisnis. Apakah kita melakukannya dengan cara-cara yang berkenan di hati Tuhan, walaupun terkadang itu merugikan kita?
– Pacaran. Apakah kita memilih pacar yang seiman dan sungguh-sungguh mengasihi Tuhan, ataukah ada hal lain yang terkait dengan nafsu, kebanggaan, atau dosa-dosa lainnya?
– Cita-cita. Apakah yang kita tuju sesuai dengan panggilan Tuhan dalam hidup kita sebagai garam dan terang serta penyalur berkat kepada sesama?
- Sebagai warga negara Indonesia yang hidup di tengah masyarakat yang berbeda-beda agama dan kepercayaan, bukankah kita harus menekankan toleransi? Bagaimana jadinya jika kepercayaan ini justru merusak hubungan dengan masyarakat?
Panduan diskusi:
Sebagai anak-anak Tuhan, kita tentu mempercayai bahwa Alkitab merupakan otoritas tertinggi. Oleh sebab itu, kita tidak boleh berkompromi. Kita wajib toleran terhadap pandangan agama lain, tetapi kita tidak boleh toleran terhadap kebenaran. Misalnya, kita tidak boleh melarang orang yang melakukan penyembahan kepada leluhur, karena itu hak mereka. Tetapi, kita tidak boleh ikut-ikutan berdoa kepada leluhur. Bagaimana jika kita menghadapi situasi terdesak dan diharuskan berkompromi? Pada dihadapkan kepada Mahkamah Agama yang melarang mereka untuk memberitakan Injil, Petrus dan para rasul berkata: “Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia” (Kis. 5:29). Sikap seperti ini jugalah yang harus menjadi pedoman kita.