Hidup Seperti Apakah yang Kita Kejar? (2Ptr. 3:11-13)
sumber gambar: vnmanpower.com

Hidup Seperti Apakah yang Kita Kejar? (2Ptr. 3:11-13)

11 Jadi, jika segala sesuatu ini akan hancur secara demikian, betapa suci dan salehnya kamu harus hidup 12 yaitu kamu yang menantikan dan mempercepat kedatangan hari Allah. Pada hari itu langit akan binasa dalam api dan unsur-unsur dunia akan hancur karena nyalanya. 13 Tetapi sesuai dengan janji-Nya, kita menantikan langit yang baru dan bumi yang baru, di mana terdapat kebenaran.

(2Ptr. 3:11-13)

 

RENUNGAN

Suatu kali saya menonton iklan dari salah satu toko online. Di dalam iklan itu dikisahkan ada seorang anak yang mengajak ayahnya, seorang pembuat jam, untuk liburan. Si Ayah menolak dan berjanji untuk memberikan yang lebih baik, yaitu dia akan menciptakan jam yang terbaik untuk anaknya itu. Sejak saat itu, Si Ayah sibuk bekerja siang dan malam di bengkelnya. Dia tidak lagi peduli dengan anaknya yang semakin bertumbuh besar. Tidak peduli dengan prestasi yang diraih anaknya. Tidak peduli waktu anaknya kehilangan ibu, mendapat pacar, menikah, bahkan sampai mendapat anak.

Hingga akhirnya jam itu pun selesai. Namun ketika Si Ayah ingin memberikannya pada anaknya, betapa kagetnya dia ternyata anak yang dalam pikirannya masih kecil, telah berubah menjadi seorang bapak yang sudah mulai menua. Si ayah begitu menyesal.

Namun ternyata, ayah itu bermimpi. Ketika bangun, dia mendapati anaknya memang masih kecil. Belajar dari kesalahan di mimpinya itu, dia kemudian merangkul erat anaknya itu. Iklan ini kemudian ditutup dengan tulisan: “Untuk yang berarti, berikan yang paling berarti.”

Pesan moral dari iklan ini mengingatkan kita untuk memikirkan kehidupan seperti apa yang harus kita kejar supaya tidak sia-sia. Banyak orang yang begitu mengejar ambisinya sehingga dia melewatkan hal-hal yang juga penting seperti keluarga dan kesehatan. Sebagian orang lainnya mungkin sudah tidak sempat berpikir seperti itu lagi. Mereka tertekan dengan kebutuhan hidup sehari-hari dan berpikir, asal bisa melewatinya, itu sudah cukup.

Sebenarnya, hidup seperti apa yang harus kita kejar sebagai orang Kristen? Banyak teladan kehidupan yang ada di sekitar kita. Mimpi-mimpi pun terus ditawarkan oleh dunia. Kemajuan dunia seolah membuat manusia bisa menjalani pilihan hidup dengan tanpa batas. Menjadi biliuner teknologi sebelum usia 30. Pergi keliling dunia sambil menulis blog. Menjadi Youtuber dengan follower jutaan orang. Atau cita-cita yang sederhana, banyak mama muda ingin mempunyai tubuh seperti body goal yang ada di Instagram.

Tetapi pernahkah kita bayangkan, ketika berada di ujung hidup kita, apakah yang kita pikirkan? Prestasi yang kita raih, pengalaman yang kita dapatkan, materi yang berhasil kita kumpulkan, semua like dan follower di media sosial kita, akan ke manakah itu?

Alkitab mengingatkan bahwa dunia yang kita kenal sekarang akan berlalu dan diganti dengan dunia yang baru. Di dunia yang sekarang ini, Iblis dan kejahatan masih bisa berkuasa. Oleh sebab itu, di dunia ini kedagingan manusia mendapatkan prioritas. Orang yang kaya yang dihormati. Kecantikan didewakan. Kebenaran bisa diputarbalikkan. Pekerjaan Tuhan dan orang-orang yang setia di dalamnya bisa mendapatkan tentangan.

Tetapi ketika Kristus datang kedua kalinya, Dia akan memulihkan segala sesuatu. Apa yang sekarang ini menjadi hal yang didewakan manusia, nantinya dilenyapkan. Allah akan memperbarui dunia ini, sehingga dunia ini benar-benar ada seperti yang Dia inginkan. Dunia di mana Tuhan Yesus menjadi Raja dan kebenaran Allah berlaku di dalamnya. Di dalam Why. 21:4 dikatakan: “Dan Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu.” Sebenarnya, di dunia yang baru inilah semua harapan manusia akan terwujud dalam kondisi puncaknya.

Jika akhir dunia seperti itu, maka satu-satunya hidup yang tidak sia-sia untuk dijalani adalah hidup sebagaimana di dunia yang baru itu. Inilah hidup kudus, hidup yang senantiasa memancarkan karakter Allah. Hidup semirip mungkin dengan Tuhan Yesus. Hidup sesuai tuntunan Alkitab. Di dalam pekerjaan, keluarga, pelayanan, waktu senggang, biarlah kita ingat untuk melakukannya dengan fokus yang benar. Jangan sampai perhatian kita tertuju pada hal-hal yang nantinya dibinasakan. Amin.

 

PENGGALIAN

Di dalam 2Ptr. 3:3-10, rasul Petrus mengajarkan tentang kedatangan Kristus yang kedua kali. Ajaran ini berlawanan dengan apa yang diajarkan oleh para pengajar palsu pada waktu itu, yang menyatakan bahwa Kristus tidak datang kembali. Tidak berhenti sampai pada mengoreksi ajaran yang keliru saja, Petrus juga melanjutkannya dengan mengajarkan apa yang harus dilakukan orang-orang Kristen dalam menghadapi kedatangan Kristus yang kedua kali (2Ptr. 3:11-13).

Kedatangan Kristus yang kedua kali akan mendatangkan kehancuran sekaligus pemulihan. Dunia yang jahat ini akan berlalu dan digantikan dengan dunia yang baru di mana terdapat kebenaran (ay. 13). Itulah sebabnya orang-orang Kristen dipanggil untuk hidup kudus, sebagaimana kehidupan di dunia yang baru tersebut. Kudus berarti memancarkan karakter Allah sebagaimana yang terdapat di dalam diri Tuhan Yesus. Kedatangan Kristus kedua kali yang kelihatannya tertunda, bahkan para pengajar sesat sampai menganggap Kristus tidak akan datang lagi, sebenarnya adalah kesempatan bagi banyak orang untuk membalikkan arah hidupnya kepada Allah.

Terdapat satu permasalahan pelik di sini, yaitu apakah pada saat kedatangan Kristus nanti, dunia yang sekarang akan dihancurkan dan diganti dengan dunia yang benar-benar baru ataukah dunia yang sekarang ini ditransformasikan (dipulihkan) menjadi dunia yang jauh lebih baik? Berbagai ayat dalam Alkitab bisa diajukan untuk mendukung kedua pandangan ini (misalnya, Why. 21:1 sepertinya mendukung pandangan pertama namun Why. 21:5 sepertinya mendukung pandangan kedua).

Alkitab memang tidak menyelesaikan masalah tersebut dengan pasti. Yang jelas, akhir sejarah dunia bukan berarti dunia materi seperti yang kita kenal akan benar-benar tidak ada lagi. Akan ada sisi kontinuitas (tetap berlanjut) dan juga sisi diskontinuitas (tidak berlanjut lagi) dari apa yang kita lihat di dunia ini dengan apa yang akan kita lihat di dunia yang baru nanti.

(diolah dari berbagai sumber, terutama: Moo, Douglas J. 2 Peter, Jude. NIVAC. Grand Rapids: Zondervan, 1996)

 

PERTANYAAN DISKUSI

  1. Apakah ayat ini mengajarkan bahwa segala pencapaian manusia akan sia-sia? Kalau begitu, untuk apa manusia bekerja keras dan mengembangkan ilmu pengetahuan?

Panduan diskusi:

Kekeliruan utama dalam memahami ayat ini adalah karena kehancuran yang akan dialami dunia, maka apa pun yang akan manusia lakukan juga akan sia-sia. Untuk apa menrawat kelestarian alam kalau ujung-ujungnya juga akan dihancurkan? Untuk apa mengeksplorasi ruang angkasa kalau pada akhirnya juga hancur?

Allah memberikan mandat kepada manusia untuk mengolah bumi (Kej. 1:28). Itulah mengapa manusia harus mengembangkan teknologi, menemukan obat-obatan mutakhir, mengeksplorasi ruang angkasa, menciptakan musik, dan sebagainya. Tentu saja akan bertentangan jika kemudian Dia menghancurkannya begitu saja. Yang menjadi persoalan adalah, usaha manusia itu ternyata dilakukan bukan untuk memuliakan Allah, tetapi semata untuk kesombongan diri (menara Babel, Kej. 11:4). Inilah yang nantinya akan hancur ketika Allah memulihkan ciptaan-Nya.

Oleh sebab itu, hidup kudus bukan berarti meninggalkan semua yang sedang kita kerjakan. Tetapi, mengarahkannya kepada tujuan yang baru, yaitu kemuliaan Allah. Dengan demikian, pengharapan akan dunia yang baru itu tidak selayaknya menjadikan pesimis. Justru, kita menjadi optimis karena apa yang kita lakukan tidak sia-sia. Ada kehidupan yang menanti kita di balikdunia ini. Wujudnya seperti apa, kita hanya bisa berspekulasi. Tetapi kita bisa memegang janji Tuhan berikut:

Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia. (1Kor. 15:58)

  1. Apakah ada kekeliruan-kekeliruan yang kita lakukan selama ini dalam menjalani hidup setelah merenungkan bagian ini? Bagaimana seharusnya?

Panduan diskusi:

Arahkan peserta diskusi untuk memikirkannya dalam berbagai bidang kehidupan yang nyata. Misalnya:

Dalam keluarga. Sebagian orang, seperti ilustrasi iklan dalam renungan tadi, ingin memberikan yang terbaik bagi keluarga sehingga justru mengabaikan hal yang lebih penting. Seorang ayah yang gila kerja, sampai-sampai kehilangan waktu untuk anak-anaknya, akan merasa menyesal ketika akhirnya dia sudah punya waktu, tetapi giliran anak-anaknya yang tidak lagi bisa memperhatikannya. Ada juga orang tua yang bisa menyeimbangkan antara pekerjaan dan waktunya, selalu memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya, tetapi tidak mendidik mereka dalam iman kepada Tuhan, itu pun sia-sia menurut Alkitab. Kenikmatan keluarga seperti apapun akan lenyap jika pada akhirnya binasa dalam kekekalan.

Hadirkan Allah di tengah kehidupan keluarga, maka kita akan bisa menikmati kesenangan itu selama-lamanya. Bahkan jika sesuatu menimpa keluarga kita secara tiba-tiba (ingat kasus bom Surabaya sehingga ada seorang ibu yang kehilangan kedua anaknya sekaligus?), maka kita bisa yakin bahwa keluarga kita nantinya pasti akan mengalami sukacita sejati.

Dalam menggunakan waktu luang. Banyak orang mengejar kesenangan ketika mendapatkan waktu luang. Apalagi, di era media sosial seperti ini. Unggahan seputar kota-kota wisata di dunia, makanan-makanan enak, atau barang-barang mahal, bisa menjadi kenikmatan tersendiri. Apakah ada artinya? Kalau dipikir-pikir, itu hanya menjadi kenangan sesaat. Para follower kita di media sosial pun belum tentu mengapresiasinya (bisa saja mereka malah mencela kita karena suka pamer). Ini pun sia-sia.

Gunakanlah setiap kebebasan untuk menikmati relasi dengan Tuhan dan menjadi berkat bagi sesama. Ketika liburan, kita bisa menikmati saat teduh dalam suasana yang lain dari biasanya. Kita pun bisa mengenal orang-orang dari berbagai penjuru dunia, dan melihat kebutuhan Injil di dalamnya. Siapa tahu, dari liburan tersebut, kita mendapat masukan bagaimana kita bisa mengerjakan pekerjaan Tuhan yang belum pernah kita pikirkan.

Dalam bekerja. Kebanyakan orang akan menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk bekerja. Tentu ini adalah jangka waktu yang sangat panjang. Tidak heran, banyak orang yang merasa hampa karena terjebak rutinitas pekerjaan. Tetapi cobalah ubah pola pikirnya, bahwa apa yang kita kerjakan itu merupakan wujud hidup kudus, Kita melakukannya sebagaimana pelayanan kepada Tuhan. Kita rela berkorban di dalamnya karena tahu bahwa hasil pekerjaan kita bisa memberkati banyak orang. Dan kita mengucap syukur karena banyak orang lain yang tidak bisa melakukan pekerjaan seperti kita karena berbagai alasan: kesehatan, kemampuan, atau pun kesempatan.

Dalam menghadapi kehilangan. Pernahkah kita meratap berlarut-larut ketika menghadapi kehilangan? Jangankan kehilangan orang terkasih, bahkan ada orang-orang yang mengalami kesedihan berlarut hanya karena gelas kesayangannya pecah! Keadaan ini berlawanan dengan prinsip Alkitab bahwa segala materi yang ada di dunia ini akan berlalu. Semuanya itu sebenarnya tidak bisa benar-benar kita miliki. Oleh sebab itu, mulailah mengarahkan fokus ke arah yang benar. Segala yang kita miliki boleh hilang, tetapi Allah tetap menjadi bagian kita sampai kepada kekekalan. Itulah yang menjadikan kita tetap hidup kudus di tengah segala kondisi.

Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya” (Mzm. 73:26)

– Dan lain-lain.

  1. Apakah menjalani hidup kudus akan semakin membuat kita menarik diri dari dunia? Jelaskan!

Panduan diskusi:

Sering orang Kristen menganggap bahwa ketika mereka menjalankan hidup yang kudus, maka itu berarti mereka harus menarik diri dari dunia dan dianggap aneh oleh orang-orang di sekitarnya. Memang ada kasus-kasus tertentu ketika kebenaran Tuhan dianggap hal yang tidak wajar oleh dunia (misalnya, orang Kristen yang berintegritas di tengah lingkungan yang rusak). Namun demikian, hidup kudus sebenarnya tidak bisa terlepas dari dunia. Tuhan Yesus pernah mengatakan: “14 Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. 15 Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. 16 Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga” (Mat. 5:14-16). Justru kita harus terus hidup di tengah-tengah dunia yang rusak, tanpa tercemar olehnya, supaya banyak orang yang mengikuti cara hidup yang seperti itu (dan pada akhirnya, akan menuntun mereka untuk mau menerima hidup kekal juga). Untuk menjalani hidup kudus juga sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari mengenal hati Allah (karena itu tidak mungkin kita menjalani hidup kudus tanpa belajar firman Tuhan, jika demikian kudus menurut siapa?). Jika mengenal hati Allah, maka kita pun ingin seperti Dia, yang menjangkau dunia.

1 Comment

  1. Anonymous

    Hidup tanpa Allah = sia-sia

Leave a Reply