1 Nyanyian ziarah. Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; dari manakah akan datang pertolonganku?
2 Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi.
3 Ia takkan membiarkan kakimu goyah, Penjagamu tidak akan terlelap.
4 Sesungguhnya tidak terlelap dan tidak tertidur Penjaga Israel.
5 Tuhanlah Penjagamu, Tuhanlah naunganmu di sebelah tangan kananmu.
6 Matahari tidak menyakiti engkau pada waktu siang, atau bulan pada waktu malam.
7 TUHAN akan menjaga engkau terhadap segala kecelakaan; Ia akan menjaga nyawamu.
8 TUHAN akan menjaga keluar masukmu, dari sekarang sampai selama-lamanya.
(Mazmur 121)
Pendahuluan
Alkitab seringkali menggambarkan kehidupan kita sebagai seorang Kristen
merupakan sebuah ziarah menuju surga. Di dalam surat Ibrani, dituliskan bahwa kita adalah “orang asing dan pendatang di bumi ini” yang merindukan “tanah air surgawi” (Ibr. 11:13-16). Namanya perjalanan, selain kesenangan-kesenangan, pasti kita juga akan menghadapi rintangan dan cobaan. Ini juga yang menjadi inspirasi seorang penginjil yang bernama John Bunyan melalui sebuah bukunya yang sangat terkenal, Pilgrim’s Progress (Perjalanan Musafir).
Namun walaupun kita tahu bahwa kita diciptakan Tuhan dan nantinya akan kembali kepada Tuhan, kita masih harus menghadapi segala persoalan di dunia ini. Kita juga harus menghadapi masa depan yang masih berupa misteri. Sebuah amsal mengatakan, “Janganlah memuji diri karena esok hari, karena engkau tidak tahu apa yang akan terjadi hari itu” (Ams. 27:1). Apapun bisa terjadi dalam hidup ini: sudah bekerja dengan baik, tiba-tiba harus di-PHK karena ekonomi sulit. Sudah menjaga kesehatan, rajin olahraga, tiba-tiba mengalami kecelakaan. Bagaimana kita mengantisipasinya? Dan apa yang Tuhan janjikan bagi kita yang sedang berada dalam perjalanan kehidupan ini? Pada hari ini kita akan belajar dari Mazmur 121 yang menjelaskan bahwa kita harus bersandar pada Tuhan sebagai satu-satunya sumber pertolongan yang akan menjaga seluruh perjalanan hidup kita.
1. Tuhan Satu-satunya Sumber Pertolongan Kita
Pada masa Perjanjian Lama, orang-orang Israel dari berbagai tempat akan melakukan ziarah ke Yerusalem, tiga kali dalam setahun untuk menyembah Tuhan pada hari-hari besar tertentu. Ini merupakan perintah Tuhan yang tercatat dalam Kel. 23:14, “Tiga kali setahun haruslah engkau mengadakan perayaan bagi-Ku.” Hari besar tersebut adalah hari raya Paskah, untuk memperingati keluarnya Israel dari tanah Mesir, hari raya Pentakosta (Perjanjian Lama), hari kelima puluh setelah Paskah yang dirayakan sebagai hari penuaian dan ucapan syukur kepada Allah, serta hari raya Pondok Daun, untuk memperingati pengembaraan bangsa Israel selama berada di padang gurun. Di sepanjang perjalanan itu, tentu ada banyak bahaya: kekurangan air, tersesat, jatuh ke jurang, bertemu binatang buas, ataupun dirampok di tengah jalan. Karena itu, Mazmur 121 ini dinyanyikan untuk memberi penguatan kepada para peziarah tersebut.
Kalimat pembuka dalam mazmur ini yang tertulis dalam ayat pertama dan kedua merupakan tanya-jawab dalam diri pemazmur untuk menyatakan bahwa Allah merupakan sumber pertolongan baginya. “Aku melayangkan mataku ke gunung-gunung; dari manakah akan datang pertolonganku? Pertolonganku ialah dari TUHAN, yang menjadikan langit dan bumi.” Pada saat melihat gunung-gunung di kejauhan, pemazmur membayangkan bahwa segala kemungkinan celaka bisa terjadi pada waktu dia harus mendakinya. Di gunung juga banyak kuil penyembahan berhala. Jadi, dengan melayangkan pandangan matanya ke gunung-gunung, sumber mara bahaya dan kengerian, pemazmur sedang mencari-cari sumber pertolongan.
Tetapi pemazmur juga memahami, berdasar kitab Taurat yang dibacanya, gunung juga merupakan tempat perhentian Tuhan. Misalnya, di dalam kitab Keluaran, gunung Sinai merupakan tempat di mana Allah turun untuk menjumpai manusia. Dengan melihat gunung, pemazmur diingatkan bahwa dia mempunyai sumber pertolongan yang sejati, yaitu Allah yang menjadikan langit dan bumi..
Kalimat ini sangat penting, karena kalau kita menganalisis kata “menciptakan” di dalam Kej. 1:1, “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi,” maka makna kebesaran Tuhan dalam penciptaan bukan hanya karena Dia mampu menjadikan apa yang ada dari yang tidak ada, tetapi kebesaran Tuhan yang sesungguhnya terlihat pada kuasa yang mutlak sehingga tidak ada yang menghalangi-Nya pada waktu penciptaan. Allah mahakuasa dan sekali Dia merencanakan untuk menciptakan alam semesta, maka itu pasti terjadi dan tidak ada pihak lain, bahkan Iblis, yang dapat menggagalkannya. Ayub berkata: “Tetapi Ia tidak pernah berubah – siapa dapat menghalangi Dia? Apa yang dikehendaki-Nya, dilaksanakan-Nya juga” (Ayb. 23:13). Allah mampu menciptakan langit dan bumi, maka Allah juga mampu mengontrol segala sesuatu yang ada di dalamnya. Kejadian alam, teknologi, sejarah, ekonomi, politik, dan termasuk juga perjalanan hidup manusia, ada di dalam genggaman-Nya.
Pemahaman bahwa pertolongan datang dari Tuhan, Pencipta langit dan bumi yang mahakuasa, memberi kekuatan yang sangat besar bagi para peziarah. Walaupun berbagai mara bahaya bisa ditemui mereka sepanjang perjalanan, namun jika mereka bersandar pada Tuhan, apa yang mereka takutkan? Keyakinan orang-orang Israel tersebut sejalan dengan perkataan Paulus di dalam surat Roma, “Jika Allah di pihak kita, siapakah yang akan melawan kita?” (Rm. 8:31b).
Dengan menyanyikan mazmur ini, para peziarah diingatkan akan pengembaraan nenek moyang mereka di padang gurun. Israel merupakan bangsa yang sangat kecil. Mereka juga tidak terbiasa berperang dan hidup di padang gurun. Mental mereka rusak karena selama 400 tahun lebih diperbudak Mesir. Tetapi, perjalanan mereka berhasil dan mengalahkan bangsa-bangsa yang jauh lebih kuat. Saudara tentu ingat bagaimana ajaibnya peperangan yang dilakukan oleh bangsa Israel, “Dan terjadilah, apabila Musa mengangkat tangannya, lebih kuatlah Israel, tetapi apabila ia menurunkan tangannya, lebih kuatlah Amalek” (Kel. 17:11). Itu semua membuktikan bahwa Tuhan adalah sumber kemenangan, bukan kekuatan mereka sendiri ataupun kekuatan duniawi lainnya yang tidak bisa diandalkan.
Saya akan mengambil contoh dari sesuatu yang biasanya diandalkan orang, yaitu uang. Semakin banyak uang, semakin aman masa depan kita. Tetapi, apakah benar demikian? Liem Sioe Liong, orang terkaya di Indonesia pada masa Orde Baru, pernah mengalami kejadian pahit justru karena banyak uang. Pada masa penjajahan Jepang, dia berdagang minyak kacang kecil-kecilan di Kudus. Dia juga menjadi penyalur cengkih di kota yang banyak pabrik rokok kreteknya itu. Pada waktu pecahnya revolusi tahun 1945, Liem Sioe Liong juga membantu Republik melawan Belanda dan selama itu dia mendapatkan kekayaan yang luar biasa besar.
Namun setelah Jepang menyerah, pemerintah menyatakan bahwa uang Jepang tidak berlaku lagi dan diganti uang Indonesia. Jadi, uang Liem Sioe Liong yang berkarung-karung tiba-tiba hangus begitu saja. Dia hanya mendapat delapan Rupiah, sesuai dengan jumlah anggota keluarganya, karena pemerintah memberi masing-masing warga negara sebesar satu Rupiah. Dari sini dia kemudian memetik pelajaran bahwa bisnis tidak boleh atas dasar uang, tetapi atas dasar barang (aset).
Tetapi, apakah aset juga bisa diandalkan? Pada pertengahan ‘90-an, Hong Kong mengalami kenaikan harga properti gila-gilaan. Bahkan menjelang tahun 1997, kenaikannya mencapai 80% dan membuat banyak orang Hong Kong yang menginvestasikan uangnya di bidang properti. Tetapi, menurut salah satu tesis yang saya baca, kenaikan harga properti yang fantastis itu lebih disebabkan faktor psikologis. Jadi, begitu ada harapan kaya mendadak, banyak yang ikut-ikutan. Karena itu, begitu krisis ekonomi melanda Asia tahun 1997, properti di Hong Kong kolaps. Harga properti turun drastis dan dalam waktu 6 tahun tinggal bernilai 20% saja. Bukannya kaya mendadak, banyak orang Hong Kong yang malah jatuh miskin.
Berdasar dua peristiwa tadi, kita belajar bahwa apa yang diandalkan oleh orang-orang dunia itu rapuh karena banyak hal di luar kontrol manusia. Karena itu, kita harus berharap pada Tuhan. Sebagai Pencipta, hanya Dia yang dapat berkuasa atas seisi dunia dan karena itu layak untuk dijadikan sumber pertolongan.
Apakah keyakinan pemazmur bahwa Tuhan merupakan satu-satunya sumber pertolongan yang bisa diandalkan juga menjadi keyakinan kita? Misalnya, pada waktu anak kita tiba-tiba panas tinggi, apa yang langsung ada di pikiran kita? Cemas, cari dokter, atau teringat tidak punya uang untuk berobat? Bagi para pelajar, mendekati ujian, makin rajin saat teduh atau malah kendor, karena sibuk belajar? Bukankah kalau kita mengandalkan Tuhan, maka seharusnya Dialah yang pertama kali kita cari pada saat menghadapi masalah? Satu hal yang menunjukkan bahwa kita benar-benar bersandar pada Tuhan dan mempercayai Dia sebagai pengendali hidup kita, adalah dengan menjadikan doa sebagai pusat hidup kita.
Tuhan senang kalau kita sebagai ciptaan mengandalkan Dia, karena dengan demikian Dia akan menyatakan kuasa dan kasih setia-Nya kepada kita. Seperti halnya Daud, yang walaupun mempunyai kuasa yang begitu besar sebagai seorang raja namun dikatakan “sepenuh hati berpaut kepada Tuhan, Allahnya” (1Raj. 15:3). Mari kita juga bersandar penuh pada Dia sebagai sumber pertolongan dalam setiap pergumulan hidup kita. Jika dengan kemahatahuan-Nya, Tuhan mampu merancang alam semesta yang begitu rumit ini dan dengan kemahakuasaan-Nya, Tuhan mampu menopangnya hingga masih bisa ada hingga detik ini, masak sih kita lebih bergantung sama dokter dibanding Tuhan? Masak sih kita tidak percaya kalau Tuhan tahu bagaimana cara yang terbaik untuk menutup hutang-hutang kita? Kalau Tuhan saja kita lepaskan waktu menghadapi kesulitan, kepada siapa lagi kita bisa berharap?
Satu lagi, apakah hanya dalam masalah sehari-hari saja kita mengandalkan Tuhan? Tidak. Kita juga harus mengandalkan Tuhan untuk hal yang lebih penting, yaitu keselamatan, karena seperti kata Alkitab: “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” (Kis. 4:12). Jangan sampai kita masih merasa layak diselamatkan karena merasa dosanya sedikit, banyak melakukan pelayanan, banyak memberi persembahan. Itu semua menunjukkan kita belum mengandalkan Tuhan.
2. Tuhan Akan Menjaga Seluruh Perjalanan Hidup Kita
Setelah menyatakan komitmennya pada Tuhan, pemazmur melanjutkannya dengan menjelaskan apa yang akan Tuhan lakukan kepada orang-orang yang bersandar kepada-Nya. Pada ayat ketiga dan keempat: “Ia takkan membiarkan kakimu goyah, Penjagamu tidak akan terlelap. Sesungguhnya tidak terlelap dan tidak tertidur Penjaga Israel,” Tuhan digambarkan seperti seorang gembala, yang tanpa pernah tidur senantiasa menjaga domba-dombanya. Kemudian di ayat kelima dan keenam: “Tuhanlah Penjagamu, Tuhanlah naunganmu di sebelah tangan kananmu. Matahari tidak menyakiti engkau pada waktu siang, atau bulan pada waktu malam,” Tuhan digambarkan sebagai seorang penjaga yang tidak terlihat yang memberikan perlindungan sepanjang waktu. “Naungan di sebelah tangan kananmu” menggambarkan bahwa Tuhan menjadi perisai dan sumber kemenangan yang melindungi mereka. Mazmur ini kemudian ditutup dengan berkat pada ayat ketujuh dan kedelapan: “TUHAN akan menjaga engkau terhadap segala kecelakaan; Ia akan menjaga nyawamu. TUHAN akan menjaga keluar masukmu, dari sekarang sampai selama-lamanya,” yang menyatakan bahwa Tuhan akan menjaga apapun yang terjadi dalam perjalanan mereka dari awal sampai akhir. Semua penggambaran ini menunjukkan betapa kuatnya penjagaan Tuhan yang mahakuasa, mahatahu, dan mahahadir di setiap perjalanan hidup anak-anak-Nya.
Apakah penjagaan Tuhan yang sekuat ini akan selalu diberikan pada kita? Perhatikan kata yang sangat penting di ayat keempat, yaitu “Penjaga Israel.” Siapakah Israel? Di dalam Hos. 11:1 Tuhan berkata, “Ketika Israel masih muda, Kukasihi dia, dan dari Mesir Kupanggil anak-Ku itu.” Kemudian di dalam Ul. 32:18 dikatakan, “Gunung batu yang memperanakkan engkau, telah kaulalaikan, dan telah kaulupakan Allah yang melahirkan engkau.” Relasi antara Allah dengan Israel begitu intim, sehingga Dia menyebut Israel sebagai anak-anak-Nya, yang dilahirkan dan dibersarkan-Nya sendiri, dan itulah yang menjadi dasar bahwa Allah akan menyertai Israel sampai selama-lamanya.
Bahkan, Allah juga akan bereaksi kalau anak-anak-Nya mendapat ancaman dari dunia. Mari kita baca Kel. 4:22-23: “Maka engkau harus berkata kepada Firaun: Beginilah firman TUHAN: Israel ialah anak-Ku, anak-Ku yang sulung; sebab itu Aku berfirman kepadamu: Biarkanlah anak-Ku itu pergi, supaya ia beribadah kepada-Ku; tetapi jika engkau menolak membiarkannya pergi, maka Aku akan membunuh anakmu, anakmu yang sulung.” Lihat, bagaimana Allah akan membuat perhitungan kepada mereka yang berani mengusik anak-anak-Nya. Jika Firaun tidak mau melepaskan Israel, anak kesayangan Allah, maka Allah akan mengambil nyawa anak sulung Firaun, anak kesayangan sekaligus penerus takhtanya di Mesir.
Kemudian, apakah Allah yang menyertai umat-Nya juga akan menyertai kita secara pribadi? Dalam teologi Perjanjian Lama, orang-orang Israel memahami bahwa penjagaan yang diberikan Tuhan kepada bangsa Israel juga akan terjadi pada diri masing-masing orang Israel. Jadi, orang Israel tahu bahwa Allah yang akan menyelamatkan seluruh bangsa Israel juga akan menyelamatkan masing-masing orang Israel secara pribadi. Lalu bagaimana dengan kita, yang bukan orang Israel? Alkitab menyatakan bahwa siapapun yang percaya kepada Tuhan Yesus merupakan orang Israel secara rohani. “Dan jikalau kamu adalah milik Kristus, maka kamu juga adalah keturunan Abraham dan berhak menerima janji Allah” (Gal. 3:29).
Jadi, janji Allah yang ada di dalam mazmur ini juga diberikan kepada kita, orang-orang Kristen di masa kini. Kita percaya bahwa Allah yang telah menyertai bangsa Israel di padang gurun adalah Allah yang mahahadir di dalam seluruh perjalanan hidup manusia, yang sanggup menyertai kita melewati sakit, problem rumah tangga, persoalan ekonomi, dan sebagainya.
Namun setelah merenungkan penjagaan Allah seperti ini, timbul pertanyaan di dalam hati saya, dan mungkin juga di dalam hati Saudara sekalian. Jika Tuhan menjaga anak-anak-Nya dari segala macam celaka dan penjagaan-Nya berlangsung terus-menerus, mengapa ada orang Kristen yang mendapat musibah? Ada orang Kristen yang harus kehilangan seluruh keluarganya seketika karena kecelakaan pesawat. Ada orang Kristen yang harus kehilangan dua orang anaknya sekaligus justru ketika mereka mau beribadah di gereja. Dan sebagainya.
Tuhan Yesus berkata: “Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit? Namun seekorpun dari padanya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak Bapamu” (Mat. 10:29). Alkitab tidak mengatakan bahwa kita sebagai orang percaya tidak akan mengalami kesusahan. Karena beriman, kita bebas dari kesusahan. Bukan itu. Tetapi, semua kesusahan yang menimpa kita berada di dalam kendali Tuhan. Ingat, Tuhan bukan orang suruhan yang akan menjaga kita sesuai dengan keinginan kita. Tuhan adalah Allah yang berdaulat, yang akan menjaga kita berdasarkan hikmat dan rencana-Nya yang seringkali tidak terselami oleh akal manusia.
Misalnya, apakah Allah kecolongan saat Iblis berusaha menjatuhkan Ayub? Tidak. Penderitaan Ayub itu terjadi atas seizin Tuhan dan di dalam penderitaannya, Ayub tetap percaya pada Tuhan. Demikian pula saya sangat dikuatkan ketika membaca salah satu buku rohani. Buku ini menceritakan kisah-kisah penganiayaan yang terjadi kepada orang-orang Kristen oleh para ekstrimis di negara tertentu. Misalnya, pada waktu ISIS memasuki suatu daerah, mereka akan menandai rumah orang-orang Kristen dengan huruf n, atau nun dalam bahasa Arab, maksudnya “nasrani”. Begitu rumah mereka ditandai, maka apapun bisa terjadi: harta bendanya dirampas, anak-isteri disiksa, bahkan harus siap kehilangan nyawa kalau mereka tidak mau meninggalkan iman Kristen. Tetapi justru melalui penganiayaan itu, iman mereka semakin kokoh dan kasih mereka semakin melimpah. Inilah bentuk penjagaan Tuhan yang secara khusus hanya diberikan kepada orang-orang percaya.
Harta kita boleh ludes, kesehatan kita boleh merosot, dan bahkan keadaan kita bisa begitu buruk sehingga seolah-olah Tuhan meninggalkan kita, namun Roh Kudus akan menjaga kita sehingga kita tetap bisa mempertahankan harta kita yang paling berharga dan kekal, yaitu Kristus. Dia akan memberi hikmat dan damai sejahtera kepada kita di tengah-tengah segala kesulitan, sehingga kesulitan yang kita alami justru menjadi batu loncatan bagi kita untuk semakin dewasa rohani.
Kalau kita mengerti penjagaan Tuhan yang seperti ini, maka kita akan mempunyai kekuatan yang luar biasa untuk menghadapi kehidupan. Apapun yang terjadi di dalam kehidupan kita tidak akan membuat kita putus asa. Misalnya, walaupun kita tidak bisa kuliah karena kesulitan ekonomi, tetapi kita tetap optimis dan terus melangkah maju karena tahu kita tidak mengandalkan Tuhan, bukan ijazah. Walaupun dokter bilang, penyakit kita tidak mungkin sembuh, tetapi kita tahu bahwa kita punya dokter di atas segala dokter, dan kita tahu bahwa Tuhan tetap bisa menjaga kita dan memakai kita walaupun di tengah-tengah sakit. Kita masih dapat mendoakan orang-orang, atau menghibur orang lain yang penyakitnya sama dengan kita. Itulah bentuk penjagaan Tuhan yang bagi manusia kelihatan mustahil.
Penutup
Melalui mazmur ini kita sudah mempelajari bahwa kita harus bersandar pada Tuhan sebagai satu-satunya sumber pertolongan yang akan menjaga seluruh perjalanan hidup kita. Melalui Alkitab, kita sebagai orang Kristen ternyata tidak hanya tahu dari mana asal kita dan ke mana kita pergi setelah kehidupan ini berakhir. Tetapi kita juga tahu apa yang akan Tuhan lakukan sepanjang perjalanan hidup yang penuh ketidakpastian ini. Hendaknya ini menjadi kekuatan untuk menjalani hidup dan melewati segala permasalahan dengan bersandar pada janji Tuhan: “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat. 28:20b). Dia yang menyertai umat-Nya sejak bumi dijadikan, Dia juga yang akan menyertai kehidupan kita dari sekarang hingga kelak tiba di surga.
Amin.