1 Miktam. Dari Daud. Jagalah aku, ya Allah, sebab pada-Mu aku berlindung. 2 Aku berkata kepada TUHAN: “Engkaulah Tuhanku, tidak ada yang baik bagiku selain Engkau!” 3 Orang-orang kudus yang ada di tanah ini, merekalah orang mulia yang selalu menjadi kesukaanku. 4 Bertambah besar kesedihan orang-orang yang mengikuti allah lain; aku tidak akan ikut mempersembahkan korban curahan mereka yang dari darah, juga tidak akan menyebut-nyebut nama mereka di bibirku. 5 Ya TUHAN, Engkaulah bagian warisanku dan pialaku, Engkau sendirilah yang meneguhkan bagian yang diundikan kepadaku. 6 Tali pengukur jatuh bagiku di tempat-tempat yang permai; ya, milik pusakaku menyenangkan hatiku.
(Mzm. 16:1-6)
Pendahuluan
Apakah topik mengenai kebahagiaan perlu dibahas dalam lingkungan Kekristenan? Tentu saja. Mengapa? Karena semua orang di dunia berlomba-lomba mencari kebahagiaan. Apakah Anda setuju? Tunggu dulu…. Kalau semua orang mencari kebahagiaan, mengapa ada orang yang bunuh diri? Mengapa ada orang yang rela hidup menjadi petapa? Bukankah itu menunjukkan bahwa ada orang-orang yang tidak ingin bahagia?
Blaise Pascal, seorang ilmuwan Kristen yang hidup pada abad ke-17, mengatakan bahwa pada dasarnya setiap orang mencari kebahagiaan. Dan itulah yang mendorong orang tersebut untuk melakukan sesuatu. Misalnya, orang yang menyetujui perang ataupun orang yang menolak perang pada dasarnya mempunyai motif yang sama, yaitu mencari kebahagiaan. Di satu pihak, ada orang yang ingin menguasai sumber daya sebanyak-banyaknya sehingga mereka berperang. Di lain pihak, ada orang yang ingin hidup damai sehingga menghindari perang. Kedua pihak tersebut pada dasarnya sama-sama ingin bahagia, namun caranya berbeda.
Bahkan orang yang bunuh diri pun sebenarnya sedang mencari kebahagiaan. Kok bisa? Dengan mengakhiri hidup, mereka berpikir akan terlepas dari penderitaan. Orang yang menjadi petapa dan menolak kemewahan pun, seperti Buddha Gautama, sebenarnya dilatarbelakangi oleh kebahagiaan. Buktinya, orang Buddha sering mengucapkan kalimat, “Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta.” Artinya, “Semoga semua makhluk berbahagia.”
Lihat? Apapun wujudnya, semua orang sebenarnya ingin mendapat kebahagiaan. Ada yang mencarinya melalui kekayaan, kekuasaan, ilmu pengetahuan, atau mengasingkan diri dari dunia untuk mengejar hal-hal spiritual seperti petapa tadi.
Tetapi, setelah semuanya itu didapat, apakah pasti merasakan kebahagiaan? Bisa jadi. Tetapi, kebahagiaan itu tidak akan berlangsung selamanya. Timbul kecemasan, “Jangan-jangan, apa yang kita miliki dengan susah payah itu hilang….” Akhirnya, orang mencari cara supaya kebahagiaan tersebut tidak mudah lepas. Misalnya, orang yang membeli mobil baru pasti juga membeli asuransi.
Seandainya kebahagiaan dapat terus kita wujudkan sampai akhir hayat, masih ada satu “ancaman” lagi. Apa itu? Kematian. Akibatnya, semua orang di dalam hati kecilnya pasti merasakan bahwa kebahagiaan yang dia peroleh tidak akan bisa dinikmati selamanya. Ini akan membuat dia tidak bisa menikmati kebahagiaannya dengan penuh. Selalu cemas karena terbayang sampai kapan dia masih bisa menikmatinya. Kesimpulannya, di dunia ini tidak ada kebahagiaan yang sejati.
Jika demikian, apakah kita sebagai anak Tuhan juga bernasib sama? Alkitab mengajarkan bahwa kita dapat memperoleh kebahagiaan yang sejati dan bisa kita nikmati sepanjang masa. Tetapi itu hanya bisa kita dapatkan jika dikejar dengan cara yang benar. Mazmur ini menyatakan:
“Kita akan memperoleh kebahagiaan yang sejati, dan berlangsung selama-lamanya, jika kita menjadikan Allah sebagai harta satu-satunya.”
Pembahasan Ayat Demi Ayat
Dalam ayat pertama, Daud membuka mazmur ini dengan mencari perlindungan kepada Tuhan: “Jagalah aku, ya Allah.” Dalam bahasa Ibrani, Daud menggunakan kata “El”, menunjukkan Allah yang Mahakuasa. Daud tahu bahwa perlindungan yang sejati hanya dapat diberikan oleh Allah, bukan oleh para pengawalnya. Allah yang mempunyai kuasa untuk menjadikan langit dan bumi, pasti mempunyai kuasa untuk menjadi perlindungan bagi Daud.
Kemudian di ayat kedua Daud melanjutkannya dengan mengambil komitmen untuk menjadikan Allah sebagai Tuhannya, “Engkaulah TUHAN-ku.” Di sini Daud menyatakan relasi pribadinya dengan Allah. Allah bukan hanya Mahakuasa, yang tak terjangkau di luar sana. Tetapi, Allah juga mempunyai relasi dengan Daud. Daud menjadikan Allah sebagai Tuhan secara pribadi. Dan apa yang didapat Daud? Dia mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Perkataan “tak ada yang melebihi Engkau,” menunjukkan bahwa bagi Daud, tidak ada kebahagiaan lain di luar Tuhan. Semua hal yang bisa Daud nikmati dalam hidup hanya dapat terjadi karena dia terlebih dahulu mempunyai relasi dengan Tuhan.
Relasi dengan Tuhan inilah yang membuat dia memiliki sukacita ketika bergaul dengan orang-orang percaya lainnya, “kesukaanku ialah tinggal bersama orang-orang suci di kota ini.” Daud tidak mau larut dengan kehidupan orang-orang yang menyembah dewa-dewa. Bagi Daud, segemilang apapun, kehidupan mereka yang tidak mengenal Tuhan adalah kehidupan yang menyedihkan.
Terakhir, Daud berkata bahwa “TUHAN, Engkau saja yang kumiliki.” Daud tahu bahwa harta terbesar baginya bukan kekayaan, bukan prajurit, bukan pula seluruh isi kerajaan. Harta terbesar bagi Daud adalah Tuhan, dan itu cukup. Hanya dengan mempunyai Tuhan dan mempunyai relasi dengan-Nya, Daud sudah memperoleh semua yang diinginkan di dalam hidup ini. Dia berkata: “Engkau memberi segala yang kuperlukan.” dan itu sangat menyenangkan hatinya.
Dari mazmur ini kita belajar bahwa kita dapat memperoleh kebahagiaan yang sejati ketika kita menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya harta yang bernilai di dalam hidup ini. Rasa puas dan rasa cukup hanya bisa kita dapatkan jika kita memiliki apa yang tidak terbatas, yaitu Tuhan.
Aplikasi
Mari kita periksa hidup kita. Apakah Tuhan telah menjadi harta satu-satunya di dalam hidup kita? Apakah kita mengejar relasi dengan Tuhan lebih dibanding yang lainnya? Seringkali kita mengalami kecemasan karena kita salah menyandarkan kebahagiaan kita. Kita terlalu sibuk mengejar hal-hal yang fana, sementara kita mengabaikan hal yang terpenting, yaitu relasi dengan Tuhan.
Kita larut dalam pola pikir dunia. Kita mengira kebahagiaan itu terwujud dalam kasur yang empuk, rumah yang besar, gaji yang banyak, isteri yang cantik, mobil yang bagus, atau bahkan gereja yang membuat kita nyaman, gereja di mana kita bisa melayani sesuka hati dan mendengarkan khotbah yang sesuai dengan pikiran kita.
Tetapi ingat, pada waktu manusia jatuh dalam dosa, apa yang sebenarnya terjadi? Manusia merasa bahwa hawa nafsu dan pikiran Iblis itu lebih mengenakkan dibanding dengan firman Tuhan, yang kelihatannya mengekang kebebasan manusia. Pada saat kita meninggalkan relasi dengan Tuhan, ada sesuatu yang kita anggap lebih tinggi dari Tuhan, maka di situ kita jatuh. Apa yang tadinya kita anggap bisa membahagiakan ternyata mematikan.
Tuhan menciptakan manusia dengan akal pikiran yang luar biasa sehingga bisa memiliki keinginan yang tidak terbatas. Oleh karena itu, pada saat memperoleh sesuatu, orang akan selalu menginginkan yang lebih. Misalnya, pada waktu kita kehausan, maka begitu disodori satu gelas es teh, kita akan merasa nikmat sekali pada waktu meminumnya. Disodori gelas kedua, sudah agak biasa. Gelas ketiga? Hambar. Begitu juga keinginan kita yang lain: kekayaan, kebutuhan seksual, materi, anak-isteri. Semuanya tidak akan memuaskan kita, tetapi justru akan semakin membuat kita merasa kurang.
Contohnya: berapa sih gaji yang bisa membuat kita puas? Taruhlah, 50 juta sebulan. Dengan kehidupan kita saat ini, mungkin gaji 50 juta sebulan kelihatan berlebih. Tetapi coba saja jika kita benar-benar bergaji segitu, cukup atau tidak? Kalau sekarang pakai sepeda motor cukup, dengan gaji segitu kita ingin mobil yang bagus, dan tentu saja perawatannya juga mahal. Pakaiannya, jam tangan, hape, minyak wangi, hobby, dan sebagainya, tentu juga menyesuaikan. Lama-lama, gaji segitu kita rasa kurang. Salomo, yang punya 700 isteri, 300 gundik, kekayaan, nama besar, bisa mendapatkan apapun juga yang diinginkan oleh manusia waktu itu, tetapi apa yang dia rasakan? Semuanya sia-sia (Pkh. 2:1)!
Tetapi jika kita menjadikan Tuhan sebagai harta kita satu-satunya, maka kita akan selalu merasa cukup dengan hidup ini. Contohnya, ada seorang misionaris dari Amerika yang kerasan tinggal berpuluh-puluh tahun di pedalaman Papua. Ada orang yang terlahir tanpa tangan dan kaki, tetapi malah menjadi motivator Kristen. Dia hidup seolah-olah telah memiliki segalanya di dunia. Mereka adalah orang-orang yang paham dengan pernyataan Tuhan Yesus: “Hal Kerajaan Sorga itu seumpama harta yang terpendam di ladang, yang ditemukan orang, lalu dipendamkannya lagi. Oleh sebab sukacitanya pergilah ia menjual seluruh miliknya lalu membeli ladang itu” (Mat. 13:44). Jika pikiran kita sudah dibukakan oleh Roh Kudus, maka kita akan mengerti bahwa Kristus itu cukup, karena kita sudah memiliki harta yang tak ternilai. Apalagi yang perlu ditambahkan? Jika kita sudah memiliki seluruh samudera, apa mungkin kita masih menimba air lagi karena merasa kurang?
Jika memiliki relasi yang benar dengan Tuhan, maka apapun yang kita alami, baik itu kekayaan ataupun kemiskinan, rumah tangga kita harmonis atau tidak, teman-teman kita baik atau jahat, usia kita muda dan penuh semangat maupun usia lanjut dan ada banyak masalah kesehatan, semuanya itu tidak akan bisa merampas kebahagiaan yang kita miliki.
Komitmen
Mari kita belajar untuk menjadikan Kristus sebagai satu-satunya milik kita yang berharga. Tetapi tanpa pikiran kita dibukakan oleh Roh Kudus, maka kita masih akan merasa bahwa kebahagiaan hanya akan terjadi jika kita memperoleh apa yang orang-orang lain kejar, yaitu kenikmatan duniawi. Karena itu, kita harus belajar untuk lebih intim dengan Tuhan melalui doa, saat teduh, dan membaca Alkitab. Hanya dengan cara demikian, maka pikiran kita akan diubahkan sehingga mampu melihat bahwa hanya Kristus yang dapat kita pastikan akan senantiasa ada, baik dalam hidup ini maupun setelahnya. Sehingga jika semua yang ada dalam hidup kita hilang, kita tidak akan guncang karena masih mempunyai harta yang lebih berharga dibanding apapun juga. Amin.
Betul bukan di luar, tetapi harus diingat bahwa fokusnya harus pada Tuhan. Karena banyak orang yang juga tidak bahagia, bahkan membenci, dirinya sendiri. Tanpa bertemu dengan Tuhan, pasti kebahagiaan yang fana.
Kebahagiaan bisa bersifat individual, subjektif. Bisa juga universal, objektif. Perikop yg mengatakan, “Berbahagialah…”, tidak dititikberatkan pada kata tsb., tetapi bersifat menghibur.
Jika titik berat pada kata “berbahagia”, pertanyaannya, Berbahagia dulu, baru kemudian melakukan yg disebutkan setelah itu.
Atau, melakukan dahulu maka engkau akan memperoleh kebahagiaan. (Inilah yg diajarkan agama lain, dikenal sbg PAHALA dan KARMA.
Aku setuju jika “rasa bahagia” itu ada di dlm diri kita.
Buktinya, jika seseorang merasa tdk bahagia, lalu ia ke tempat2 hiburan utk dapatkan kebahagiaan. Kita tau itu usaha sia sia.
TRIMAKASIH BUAT PEMBUAT TULISAN INI,PIKIRAN SAYA MULAI TERBUKA MEMAKNAI KEBAHAGIAAN,GOD BLESS