10 Sebab beginilah firman TUHAN: Apabila telah genap tujuh puluh tahun bagi Babel, barulah Aku memperhatikan kamu. Aku akan menepati janji-Ku itu kepadamu dengan mengembalikan kamu ke tempat ini. 11 Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan. 12 Dan apabila kamu berseru dan datang untuk berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mendengarkan kamu; 13 apabila kamu mencari Aku, kamu akan menemukan Aku; apabila kamu menanyakan Aku dengan segenap hati, 14 Aku akan memberi kamu menemukan Aku, demikianlah firman TUHAN, dan Aku akan memulihkan keadaanmu dan akan mengumpulkan kamu dari antara segala bangsa dan dari segala tempat ke mana kamu telah Kuceraiberaikan, demikianlah firman TUHAN, dan Aku akan mengembalikan kamu ke tempat yang dari mana Aku telah membuang kamu. — (Yer. 29:10-14)
Manusia sering keliru memahami Tuhan. Bahkan, tidak jarang pula dialami oleh orang-orang Kristen. Salah satunya, Tuhan itu dipandang seperti manusia yang ketika disakiti akan membalas dendam. Orang-orang yang memiliki pandangan seperti ini akan hidup dalam penuh ketakutan. Mereka berusaha melakukan perintah Tuhan bukan karena mengasihi Tuhan, tetapi karena takut (dalam arti negatif) kepada Tuhan. Ketika keadaan sulit menimpa, maka mereka akan mudah down. Semua jalan di depan terlihat gelap dan ditambah ketidakberdayaan karena merasa Tuhan sedang melawan mereka. Bagaimana seharusnya kita sebagai anak Tuhan memandang keadaan sulit?
Yer. 29 merupakan surat yang dikirim oleh Yeremia kepada orang-orang Yehuda yang berada dalam pembuangan di Babel (ay. 1). Memang mereka mengalami keadaan yang tidak mengenakkan di sana. Tetapi, Tuhan meminta mereka untuk memandangnya dari sudut pandang iman. Salah satu perintah Tuhan kepada mereka adalah “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang” (ay. 29:7a). Artinya, Tuhan sendirilah yang mengirim mereka ke pembuangan. Kerajaan Babel hanya sebagai alat dalam rencana Tuhan.
Latar belakangnya apa? Selama beberapa generasi, iman bangsa Israel (yang terpecah menjadi kerajaan Israel dan Yehuda) mengalami pasang surut. Sering kali, mereka memberontak kepada Tuhan. Itulah yang menyebabkan mereka dihancurkan oleh bangsa-bangsa di sekitar mereka. Dalam kasus bangsa Yehuda, mereka akhirnya dibuang ke Babel (mulai tahun 597 S.M. ketika Raja Yoyakhin berkuasa) dan Yerusalem dihancurkan (587/586 S.M.). Peristiwa itu membuat mereka shock. Umat pilihan ternyata bisa terpuruk juga.
Tetapi Tuhan tidak melakukan itu untuk menghukum mereka semata, seperti balas dendam. Bukan. Justru, Tuhan memiliki rencana yang indah di baliknya. Bangsa Yehuda diizinkan Tuhan mengalami kehancuran supaya hati mereka berbalik kembali pada Tuhan (ay. 12-13). Jika hal tersebut mereka lakukan, maka Tuhan akan memulihkan keadaan mereka (ay. 14). Bangsa Yehuda tidak selamanya akan berada di pembuangan. Setelah 70 tahun (ay. 10), mereka akan kembali ke tanah asal mereka. Pemulihan secara material ini menyiratkan bahwa Tuhan juga memulihkan mereka secara rohani. Bukankah relasi dengan Tuhan jauh lebih bernilai dibanding sekadar kelancaran hidup?
Jadi, sebagai anak Tuhan kita yakin bahwa apapun yang terjadi dalam kehidupan kita, asalkan kita ada dalam jalan Tuhan, maka itu akan membawa kebaikan (Rm. 8:28). Bagaimana kalau kita mengalami hal buruk karena kesalahan kita? Bertobatlah dan minta pertolongan Tuhan. Peristiwa buruk bukanlah akhir cerita. Tuhan bisa memulihkan masa depan kita. Ingat, kita ada dalam Kristus, yang telah melenyapkan segala penghukuman (Rm. 8:1).
Saya teringat dengan gambaran dari sebuah mozaik (dekorasi dari kepingan kaca berwarna yang membentuk gambar). Jika kita mengambil beberapa kepingan kaca secara acak, maka kita tidak akan menemukan keindahan apapun. Tetapi ketika kepingan itu telah tersusun bersama ribuan kepingan lainnya, maka kita baru akan melihat sebuah karya seni yang indah. Begitulah hidup kita. Jika hanya melihatnya sepotong, maka bisa jadi hanya keburukan yang akan terlihat. Tetapi jika melihat keseluruhannya, apalagi itu kita lakukan ketika bertemu Tuhan di surga, maka tidak mungkin kita bisa membantah ada rancangan Tuhan yang indah di baliknya. Amin.
Pertanyaan-Pertanyaan untuk Direnungkan
- Masa depan seperti apakah yang Anda harapkan? Bagaimanakah Anda dapat memuliakan Tuhan seandainya hal tersebut benar-benar terjadi, atau sebaliknya, hal tersebut malah tidak terjadi?
- Apa yang akan kita lakukan ketika setelah meminta ampun kepada Tuhan, keadaan justru memburuk secara berkepanjangan?