Kebanyakan dari kita tentu mengetahui kehebohan yang terjadi di dunia maya beberapa waktu lalu. Muhammad Kace, yang ditahan karena tuduhan penistaan agama, mengalami pengalaman yang menjijikkan di rutan. Selain mendapatkan penganiayaan fisik, tubuhnya juga dilumuri dengan (maaf) kotoran manusia dari penghuni rutan lainnya.
Saya tidak akan menyoroti sepak terjang beliau di dunia penginjilan. Tetapi, saya mengajak kita berandai-andai, siapkah kita untuk mengalami penganiayaan dalam menjadi saksi Kristus? Boro-boro dilumuri dengan kotoran manusia, mungkin gerimis kecil atau film Squid Game sudah cukup untuk membuat kita malas datang ke persekutuan di gereja.
Ketika membaca salah satu tafsiran terhadap kitab Kisah Para Rasul, saya mendapati sebuah perenungan yang menarik di dalamnya. Si Pengarang (Ajith Fernando) menuliskan pengalaman pelayanan misi ayahnya di salah negara yang banyak terjadi penganiayaan pada orang Kristen. Dalam sebuah konferensi, ayahnya mengatakan, “Pertanyaannya bukanlah ‘Mengapa orang Kristen dianiaya?,’ melainkan ‘Mengapa orang Kristen tidak dianiaya?’”
Argumennya, semakin taat menjalankan firman Tuhan, termasuk memberitakan Kabar Baik, maka semakin besar kemungkinan kita untuk mendapatkan penganiayaan. Bahkan di dalam Alkitab, banyak tokoh iman yang mati sebagai martir.
Salah satu tokoh iman yang sering dijadikan teladan sebagai martir adalah Stefanus. Kita dapat membaca kisahnya di kitab Kisah Para Rasul. Lukas, penulis kitab ini, rupanya sangat terkesan dengan keteladanan hidup Stefanus. Beberapa kali penyebutan namanya diikuti dengan sebutan yang luar biasa. Misalnya, “seorang yang penuh iman dan Roh Kudus” (6:5), “yang penuh dengan karunia dan kuasa” (6:8), serta di dalam kisah akhir hidupnya disebut “penuh dengan Roh Kudus” (7:55).
Stefanus tidak tiba-tiba menjadi martir. Sebelumnya, dia salah satu orang yang ditunjuk oleh para rasul untuk “pelayanan meja” (6:2). Ini menunjukkan bahwa dia dikenal saleh dan dapat dipercaya. Setelah pelayanannya makin berkembang, para pemuka Yahudi mulai resah. Stefanus dikatakan menghujat Allah (6:11). Dia pun diseret ke hadapan Mahkamah Agama (6:12).
Apakah Stefanus gentar dengan hal itu? Tidak. Dia justru melihat itu sebagai kesempatan yang baik untuk memberitakan Injil. Dengan kemampuan bicaranya, Stefanus menjelaskan isi Alkitab kepada orang-orang yang hadir di situ (baca: Kis. 7:1-53). Hal ini semakin membuat mereka panas.
Sambil menutup telinga (7:57), tanda tidak mau mendengarkan pemberitaan Stefanus, anggota-anggota Mahkamah Agama itu menyerbunya dan melemparinya dengan batu. Stefanus pun mati sebagai martir.
Ada catatan menarik yang disampaikan Lukas menjelang kematian Stefanus. Ketika orang-orang dalam sidang Mahkamah Yahudi itu menatap Stefanus, mereka melihat mukanya seperti malaikat (6:15). Kemudian, ketika orang-orang menyerbunya, Stefanus melihat Yesus, Anak Manusia, berdiri di sebelah kanan Allah (7:56).
Penglihatan ini menyiratkan bahwa apa yang dilakukan Stefanus adalah benar di mata Kristus, yang akan mengadili semua orang. Inilah yang menguatkan hati Stefanus untuk menghadapi penganiayaan itu dengan keteguhan hati. Juga, sukacita yang besar karena akan bertemu Kristus.
Saya yakin keteguhan dan sukacita yang diperlihatkan Stefanus membekas di hati banyak orang waktu itu. Termasuk juga Paulus, seorang penganiaya jemaat Tuhan yang kemudian justru menjadi seorang rasul (7:58; 8:1a).
Seorang Bapa Gereja yang hidup sekitar abad kedua Masehi, Tertullianus, berkata, “Darah para martir adalah benih gereja.” Jika membaca sejarah pekabaran Injil, maka kita akan menemukan jejak para martir yang membuka jalan bagi tumbuhnya gereja di sebuah wilayah. Termasuk juga di Indonesia.
Sayangnya sekarang ini banyak gereja di Indonesia yang jatuh dalam zona nyaman. Mereka tidak lagi memberitakan Injil kepada orang-orang di luar Kristus karena berbagai alasan. Mereka juga berusaha menarik banyak orang dengan fasilitas dan iming-iming lainnya. Injil menjadi tidak penting. Padahal, Injillah yang membedakan gereja dengan organisasi lainnya.
Demikian juga banyak orang Kristen yang menjadi suam-suam kuku. Mereka tetap menjalankan firman Tuhan. Namun dalam batas-batas yang menurut mereka dapat diterima. Injil juga bukan lagi menjadi kesaksian yang utama. Mereka lebih suka memperlihatkan pencapaian dan diri mereka sendiri.
Gereja dan orang-orang Kristen seperti itu lupa bahwa Injil yang mereka terima harus melalui jalan yang berdarah-darah. Banyak martir yang membuka jalan dulu, barulah Injil tersebar di Indonesia. Jangan-jangan mereka juga lupa bahwa sesungguhnya Tuhan Yesus pun seorang martir.
Tidak semua di antara kita akan dipanggil Tuhan untuk menjadi martir. Dalam arti, orang yang mati karena mempertahankan iman (tetapi kita harus siap). Namun, kita semua dipanggil untuk menjadi saksi (Yun. μάρτυς) Kristus dalam hidup sehari-hari. Tidak jarang, itu akan membawa kerugian pada diri kita. Tetapi, bisa menjadi kesaksian yang efektif. Seperti halnya Stefanus.
Seorang anggota gereja yang saya layani dalam katekisasi mengatakan bahwa dia mengalami intimidasi di tempat kerja. Apa sebabnya? Karena dia satu-satunya pegawai yang beragama Kristen di ruangan kantornya. Salah satu bentuk intimidasi yang dialami, rekan-rekan kerjanya tidak pernah mengajaknya bergabung ketika mereka makan siang bersama. Belum lagi ucapan-ucapan mereka yang menyudutkan iman Kristen.
Saya pun menguatkannya bahwa itu kondisi yang normal terjadi pada orang Kristen. Bukankah Kristus sendiri mengalami penderitaan yang jauh lebih hebat dibanding kita? Apalagi bukan dirinya sendiri atau orang baik yang Kristus bela. Tetapi, orang yang bergelimang dosa seperti Anda dan saya.
Justru pengalaman yang tidak mengenakkan seperti itu sering bisa menjadi kesempatan yang baik bagi kita untuk bersaksi. Maka jika Tuhan menempatkan kita di situasi yang sulit ketika kita ingin taat pada firman Tuhan, jangan sekali-kali melarikan diri. Kerugian yang bisa kita terima bisa bermacam-macam. Mulai dari sakit hati hingga kerugian materi.
Itu semua bukanlah pengorbanan yang sia-sia. Bahkan, bisa dianggap sebagai sebuah berkat karena kita berbagian dalam penderitaan Kristus. Rasul Petrus menuliskan, “Berbahagialah kamu, jika kamu dinista karena nama Kristus, sebab Roh kemuliaan, yaitu Roh Allah ada padamu” (1Ptr. 4:14). Biarlah ini semua membuat kita mampu meneladani Stefanus, yang rela kehilangan dunia demi menyaksikan Kristus pada banyak orang. Amin.
Refleksi
Apakah kita membedakan antara “hidup bagi Kristus” dan “mati bagi Kristus” terlalu tajam? Bukankah yang kedua merupakan konsekuensi logis dari yang pertama? (Elisabeth Elliot)
Pertanyaan untuk Direnungkan
- Apakah ketakutan menghadapi kematian merupakan tanda tiadanya iman? Jelaskan jawaban Anda!
- Pernahkah Anda berada dalam situasi yang menyebabkan Anda gagal dalam menjadi saksi Kristus? Pelajaran apa yang dapat Anda petik?
Ayat Alkitab Pendukung
54 Ketika anggota-anggota Mahkamah Agama itu mendengar semuanya itu, sangat tertusuk hati mereka. Maka mereka menyambutnya dengan gertakan gigi. 55 Tetapi Stefanus, yang penuh dengan Roh Kudus, menatap ke langit, lalu melihat kemuliaan Allah dan Yesus berdiri di sebelah kanan Allah. 56 Lalu katanya: “Sungguh, aku melihat langit terbuka dan Anak Manusia berdiri di sebelah kanan Allah.” 57 Maka berteriak-teriaklah mereka dan sambil menutup telinga serentak menyerbu dia. 58 Mereka menyeret dia ke luar kota, lalu melemparinya. Dan saksi-saksi meletakkan jubah mereka di depan kaki seorang muda yang bernama Saulus. 59 Sedang mereka melemparinya Stefanus berdoa, katanya: “Ya Tuhan Yesus, terimalah rohku.” 60 Sambil berlutut ia berseru dengan suara nyaring: “Tuhan, janganlah tanggungkan dosa ini kepada mereka!” Dan dengan perkataan itu meninggallah ia. 1a Saulus juga setuju, bahwa Stefanus mati dibunuh. (Kis. 7:54-8:1a)
1 Pada masa itu, ketika jumlah murid makin bertambah, timbullah sungut-sungut di antara orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani terhadap orang-orang Ibrani, karena pembagian kepada janda-janda mereka diabaikan dalam pelayanan sehari-hari. 2 Berhubung dengan itu kedua belas rasul itu memanggil semua murid berkumpul dan berkata: “Kami tidak merasa puas, karena kami melalaikan Firman Allah untuk melayani meja. 3 Karena itu, saudara-saudara, pilihlah tujuh orang dari antaramu, yang terkenal baik, dan yang penuh Roh dan hikmat, supaya kami mengangkat mereka untuk tugas itu, 4 dan supaya kami sendiri dapat memusatkan pikiran dalam doa dan pelayanan Firman.” 5 Usul itu diterima baik oleh seluruh jemaat, lalu mereka memilih Stefanus, seorang yang penuh iman dan Roh Kudus, dan Filipus, Prokhorus, Nikanor, Timon, Parmenas dan Nikolaus, seorang penganut agama Yahudi dari Antiokhia. 6 Mereka itu dihadapkan kepada rasul-rasul, lalu rasul-rasul itupun berdoa dan meletakkan tangan di atas mereka. 7 Firman Allah makin tersebar, dan jumlah murid di Yerusalem makin bertambah banyak; juga sejumlah besar imam menyerahkan diri dan percaya. 8 Dan Stefanus, yang penuh dengan karunia dan kuasa, mengadakan mujizat-mujizat dan tanda-tanda di antara orang banyak. 9 Tetapi tampillah beberapa orang dari jemaat Yahudi yang disebut jemaat orang Libertini — anggota-anggota jemaat itu adalah orang-orang dari Kirene dan dari Aleksandria — bersama dengan beberapa orang Yahudi dari Kilikia dan dari Asia. Orang-orang itu bersoal jawab dengan Stefanus, 10 tetapi mereka tidak sanggup melawan hikmatnya dan Roh yang mendorong dia berbicara. 11 Lalu mereka menghasut beberapa orang untuk mengatakan: “Kami telah mendengar dia mengucapkan kata-kata hujat terhadap Musa dan Allah.” 12 Dengan jalan demikian mereka mengadakan suatu gerakan di antara orang banyak serta tua-tua dan ahli-ahli Taurat; mereka menyergap Stefanus, menyeretnya dan membawanya ke hadapan Mahkamah Agama. 13 Lalu mereka memajukan saksi-saksi palsu yang berkata: “Orang ini terus-menerus mengucapkan perkataan yang menghina tempat kudus ini dan hukum Taurat, 14 sebab kami telah mendengar dia mengatakan, bahwa Yesus, orang Nazaret itu, akan merubuhkan tempat ini dan mengubah adat istiadat yang diwariskan oleh Musa kepada kita.” 15 Semua orang yang duduk dalam sidang Mahkamah Agama itu menatapStefanus, lalu mereka melihat muka Stefanus sama seperti muka seorang malaikat. (Kis. 6:1-15)
Pingback: Teladan yang Hidup (1Tes. 1:6) | STUDIBIBLIKA.ID