Narasi Alkitab penuh dengan pernak-pernik yang sering menimbulkan pertanyaan. Salah satunya, kisah yang pasti telah Anda kenal. Kain dan Habel. Diceritakan bahwa kedua anak Adam ini sama-sama mempersembahkan hasil pekerjaan mereka. Kain, yang sehari-hari bertani, mempersembahkan hasil panen. Sementara Habel, yang sehari-hari menggembala kambing domba, mempersembahkan daging kurban.
Cerita ini menjadi rumit ketika Tuhan menolak persembahan Kain sementara persembahan Habel diterima-Nya. Mengapa demikian?
Ada berbagai argumen seputar hal ini. Salah satunya, Tuhan menghendaki persembahan yang memerlukan pencurahan darah. Hal ini terkait dengan pencurahan darah yang dilakukan ketika Tuhan membuatkan Adam dan Hawa pakaian dari kulit binatang. Menurut orang-orang yang memercayai argumen ini, Adam dan Hawa tentu mengajarkan tentang persembahan itu turun-temurun.
Oleh sebab itu, Kain, yang tidak mau mengindahkan ketentuan ini, persembahannya ditolak Tuhan. Mentang-mentang pekerjaannya bercocok-tanam, gengsilah dia untuk mempersembahkan daging kurban.
Namun argumen ini lemah.
Pertama, Alkitab tidak dengan tegas mengatakan demikian. Kedua, kalau kita mencermati detail narasinya, maka tampaknya tidak demikian.
Mari kita perhatikan jalan ceritanya:
2 Selanjutnya dilahirkannyalah Habel, adik Kain; dan Habel menjadi gembala kambing domba, Kain menjadi petani. 3 Setelah beberapa waktu lamanya, maka Kain mempersembahkan sebagian dari hasil tanah itu kepada TUHAN sebagai korban persembahan; 4 Habel juga mempersembahkan korban persembahan dari anak sulung kambing dombanya, yakni lemak-lemaknya; maka TUHAN mengindahkan Habel dan korban persembahannya itu, 5 tetapi Kain dan korban persembahannya tidak diindahkan-Nya. Lalu hati Kain menjadi sangat panas, dan mukanya muram. (Kej. 4:2-5)
Jika diperhatikan, memang tidak ada pernyataan yang tegas bahwa Tuhan menolak persembahan Kain karena persembahannya berupa hasil panen. Hal ini juga didukung dengan penggunaan istilah minḥâh dalam bagian tersebut. Istilah ini mengacu pada semua jenis persembahan, baik berupa daging, biji-bijian, atau yang lainnya (baca penjelasannya di sini).
Kemudian, dari narasi di atas juga tersirat adanya perbedaan sikap hati di antara keduanya:
- Kain mempersembahkan sebagian hasil panennya (tidak ada penekanan apapun mengenai persembahan ini).
- Habel mempersembahkan bagian lemak dari anak sulung ternaknya (pada masa itu, bagian ini dianggap yang terbaik).
Motivasi Habel yang berkenan pada Tuhan ini didukung oleh Alkitab sendiri:
Karena iman Habel telah mempersembahkan kepada Allah korban yang lebih baik dari pada korban Kain. Dengan jalan itu ia memperoleh kesaksian kepadanya, bahwa ia benar, karena Allah berkenan akan persembahannya itu dan karena iman ia masih berbicara, sesudah ia mati. (Ibr. 11:4)
Sementara itu, kebusukan hati Kain terbukti ketika dia kemudian menjadi iri hati dan akhirnya membunuh adiknya itu.
Lalu hati Kain menjadi sangat panas, dan mukanya muram (Kej. 2:5b)
Jadi, permasalahannya bukan terletak pada jenis persembahannya, namun terletak pada orangnya.
Perhatikan pula konstruksi kalimat dalam bahasa Ibraninya. Di situ terlihat bahwa pertama-tama Tuhan menolak/mengindahkan orangnya, barulah persembahannya:
TUHAN mengindahkan Habel dan korban persembahannya itu,
tetapi Kain dan korban persembahannya tidak diindahkan-Nya.
Pelajaran yang dapat kita petik dari kisah ini adalah: Allah lebih melihat hati kita dibanding persembahan, pelayanan, dan ibadah yang kita lakukan. Ternyata, prinsip ini telah Allah bukakan sejak kitab Kejadian.
Berdasar kisah ini, marilah kita renungkan, apakah selama ini kita bersikap seperti Kain atau Habel?
Diolah dari: Walter C. Kaiser, Jr., et. al., Hard Sayings of the Bible dan sumber-sumber lain