Pernikahan merupakan dambaan bagi sebagian besar orang. Sering saya mendengar gurauan, “Saya menyesal menikah…. Bukan menyesal menikah, tetapi menyesal kenapa tidak dari dulu… Ternyata menikah itu enak.”
Tetapi, ada berbagai tantangan seputar kehidupan pernikahan. Salah satu yang paling sering ditanyakan adalah: “Bolehkah orang Kristen menikah dengan orang yang berbeda agama?”
Mari kita cermati beberapa perenungan yang bisa menuntun kita untuk untuk menjawab pertanyaan.
Pertama, bagaimana kita memandang pernikahan?
Jika kita memandang pernikahan sebagai budaya manusia belaka, maka kita bebas menentukan aturan mainnya. Minimal, sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat tempat kita tinggal. Tidak heran, di berbagai budaya terdapat aturan yang berbeda-beda mengenai pernikahan.
Namun sebagai orang Kristen, kita harus menempatkan Alkitab sebagai otoritas tertinggi dalam semua bidang kehidupan. Termasuk juga dalam pernikahan. Jadi, pandangan kita tentang pernikahan harus didasarkan atas Alkitab. Bukan budaya sekitar, apalagi pikiran sendiri.
Alkitab menyatakan bahwa pernikahan merupakan institusi yang ditetapkan oleh Allah. Jadi, pernikahan bukan lahir dari kebudayaan manusia. Pada waktu Penciptaan, Allahlah yang memberikan seorang wanita kepada Adam.
Allah kemudian memerintahkan:
Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging (Kej. 2:24)
Jika Allah yang menetapkan institusi pernikahan, maka pernikahan bersifat sakral. Pernikahan harus dijalankan berdasarkan aturan Allah, bukan pemikiran manusia.
Kedua, apa kata Alkitab tentang pernikahan beda agama?
Beberapa panduan yang tersirat dari ayat di atas adalah: pernikahan harus dilakukan oleh dua orang yang berbeda gender dan sudah dewasa. Lalu, bagaimana dengan pernikahan beda agama?
Dalam surat 2Korintus, Paulus menasihati jemaaat Korintus:
Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? (2Kor. 6:14)
Memang secara konteks, ayat tersebut tidak mengarah pada pernikahan. Melainkan, penerapan dari perintah Tuhan untuk menjauhkan diri dari kecemaran (2Kor. 7:1; 6:17). Melalui ayat ini, Paulus meminta jemaat Korintus untuk menegaskan identitas mereka sebagai umat Tuhan. Dengan begitu, mereka tidak selayaknya “bersekutu” (sepaham dan setujuan) dengan orang-orang yang tidak percaya.
Walaupun demikian, ayat ini juga bisa menjadi dasar bahwa pernikahan beda agama tidak diinginkan Tuhan. Jika “bersekutu” dengan orang-orang yang tidak percaya saja tidak diperkenan Tuhan, apalagi ikatan pernikahan, bukan?
Selain itu kita harus ingat bahwa tubuh kita adalah bait Roh Kudus. Jadi, kita harus menjaga kekudusannya. Selain tidak melakukan hubungan di luar nikah, hubungan di dalam nikah pun harus dilakukan dengan pasangan yang sama-sama bait Roh Kudus.
Ketiga, apa tantangan yang bisa dialami oleh orang yang menikah beda agama?
Selain tantangan dari sudut pandang Alkitab, pernikahan beda agama juga memiliki tantangan secara praktis. Pernikahan adalah penyatuan dua orang yang berbeda pemikiran, latar belakang, dan kepribadian. Ini saja sudah terlihat sebagai sumber konflik. Apalagi jika pasangan memiliki iman yang berbeda. Pernikahan pasti akan menghadapi potensi konflik yang lebih tajam.
Pasangan yang berbeda agama memiliki standar yang berbeda dalam mengarahkan biduk rumah tangga, mendidik anak, mengelola keuangan, mengelola konflik, dan sebagainya. Sangat sulit untuk diselaraskan (kecuali ada kompromi). Tepat seperti Paulus bilang, “terang tidak mungkin bersatu dengan gelap.”
Lalu, mengapa ada pasangan yang terlihat baik-baik saja walaupun mereka berbeda agama? Ada beberapa kemungkinan yang bisa terjadi. Bisa saja, mereka terlihat baik-baik saja saat ini, belum tentu di masa depan. Atau, mereka terlihat baik-baik saja di muka umum, tetapi ada salah satu pihak yang selalu mengalah.
Namun dari semua kemungkinan itu, ada satu kemungkinan yang lebih fatal lagi. Yaitu, pasangan yang berbeda agama tidak sungguh-sungguh taat pada Tuhan. Dalam batas tertentu, mereka mengkompromikan iman demi mencapai kesepahaman dengan pasangan.
Misalnya, apakah mungkin orang yang sungguh-sungguh taat pada Tuhan membiarkan anak mereka menerima pengajaran di luar Kristus? Atau, mungkinkah rumah tangga tersebut akan maksimal bagi Tuhan jika pasangan memiliki standar moral dan kebenaran yang berbeda?
Apalagi, jika pasangan yang Kristen mendapat panggilan pelayanan secara khusus dari Tuhan. Semakin taat pada Tuhan, dia akan semakin mendapat tantangan dari pasangannya yang belum percaya.
Ingat, kita sebagai anak Tuhan memiliki standar moral dan kebenaran yang sangat tinggi. Kristus sendiri yang menjadi acuan. Pun di dalam pernikahan, Kristus sendiri yang menjadi pemimpin dan role model. Kasih Kristus serta kasih di antara ketiga pribadi Tritunggal juga harus menjadi perekat pernikahan.
Bagaimana mungkin kasih seperti ini dapat terwujud jika dilakukan oleh orang yang tidak percaya pada Kristus? Tuhan Yesus berkata: “Di luar Aku, kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh. 15:5).
Melihat banyaknya tantangan yang akan dihadapi, maka orang Kristen sudah selayaknya menghindari pernikahan beda agama. Terlebih lagi, hal itu tidak dikehendaki oleh Tuhan.
Jalanilah pernikahan sesuai dengan kehendak Tuhan dan dengan cara yang berkenan pada Tuhan. Yakinlah, berkat Tuhan yang dirasakan akan lebih besar dibanding apa yang didapat dari pernikahan menurut dunia.
Untuk belajar lebih lanjut: