Natal merupakan sebuah momen bahagia. Bukan hanya bagi orang Kristen, namun juga bagi yang lainnya. Tidak hanya gereja yang dihias dengan berbagai ornamen natal. Tetapi juga, mal-mal menyemarakkan natal dengan berbagai hiasan. Tentu saja, berbagai promo dan diskon yang menarik.
Menurut saya pribadi, tidak ada salahnya merayakan natal dengan kemeriahan karena pada dasarnya natal merupakan momen bersukacita atas kelahiran Juruselamat. Tetapi, kita jangan melupakan bahwa kelahiran Kristus merupakan peristiwa yang terjadi dalam kesederhanaan.
Dia terlahir dari perempuan biasa, pasangan seorang tukang kayu. Lahirnya pun di palungan, tempat makan ternak. Yang pertama-tama dikabari oleh malaikat pun adalah para gembala, orang-orang dengan status yang rendah.
Tetapi jika kita menelisik lebih dalam lagi, peristiwa natal jauh lebih mengenaskan dibanding itu. Bayi yang lahir itu, adalah Anak Allah yang rela turun ke dalam dunia untuk menjalankan misi penebusan. Kristus, yang tadinya berada dalam kemuliaan surga bersama Bapa-Nya, harus terlahir menjadi manusia dan menundukkan diri pada keterbatasan (Cat.: secara teologis, Dia tetap Allah yang mulia dan mahakuasa. Tetapi dengan mengambil wujud seorang manusia, Dia rela mengesampingkan semua itu – inilah yang dimaksud dengan “mengosongkan diri” dalam ayat 7).
Apa yang dilakukan Kristus itu membawa dampak besar bagi kita. Selain memampukan kita untuk menerima hidup kekal, karya Kristus itu juga membentuk standar baru bagi hidup kita. Yaitu, hidup yang tidak berpusat dan mencari kebesaran bagi diri sendiri. Tetapi, hidup yang merendahkan diri dan mengutamakan kepentingan orang lain (ay. 3-4). Sikap hidup yang seperti ini mutlak diwujudkan dalam seluruh kehidupan kita sebagai orang percaya.
Kita tentu sering mendengar berbagai macam konflik yang terjadi di lingkungan pergaulan kita. Ada hamba Tuhan yang berebut kursi ketua Sinode. Tidak terhitung pula pelayan Tuhan yang mundur akibat bersinggungan dengan rekan pelayanan yang lain. Di dalam keluarga Kristen pun, konflik biasa terjadi. Mulai dari pertengkaran rumah tangga hingga berebut warisan.
Apa akar masalahnya? Masing-masing saling menganggap diri lebih utama dibanding yang lain. Sehingga, tidak bisa menerima ketika diperlakukan “rendah” oleh orang yang lainnya.
Padahal, siapa sih diri kita? Kita adalah orang yang berdosa. Dibentuk dari debu tanah dan akan kembali ke tanah. Jabatan, pakaian bermerek, gelar, popularitas, tidak ada satu pun yang bisa membuat martabat kita meningkat. Belum lagi, kita berlumuran dosa. Di mata Allah, manusia sama sekali tidak berharga apa-apa (Ayb. 25:5-6).
Tetapi, demi kita yang tidak berharga itu, Kristus mau mengosongkan diri-Nya, menderita dan mati. Melalui karya penebusan-Nya, diri kita kembali dipulihkan. Jika memahami hal ini, maka kita pasti akan segan untuk meninggikan diri. Dihina seperti apapun tidak akan merasa terhina, karena menyadari kehinaan kita. Jika banyak orang melakukannya, maka komunitas gereja dan keluarga Kristen yang kokoh pasti akan terwujud. Amin.
REFLEKSI
Mereka yang mengenal Allah pasti akan rendah hati, dan mereka yang mengenal diri sendiri pasti tidak akan membanggakan diri (John Flavel)
PERTANYAAN-PERTANYAAN UNTUK DIRENUNGKAN
- Apakah merendahkan diri berarti kita tidak boleh melawan ketika menerima perlakuan yang tidak adil? Jelaskan.
- Jelaskan perbedaan secara praktis antara sikap merendahkan diri dengan rendah diri.
AYAT-AYAT ALKITAB PENDUKUNG
1 Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan, 2 karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, 3 dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; 4 dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga. 5 Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, 6 yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, 7 melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.(Flp. 2:1-7)
5 Bagi Allah, bahkan bulan pun tidak terang, dan bintang dianggapnya suram. 6 Apalagi manusia, si cacing, si serangga! Di mata Allah, ia sungguh tak berharga. (Ayb. 25:5-6)
Pingback: Apa Artinya “Mengerjakan Keselamatan”? (Flp. 2:12-13) | STUDIBIBLIKA.ID