Yesus Gembala yang Baik: Bagian Kedua (Yoh. 10:14-15)
Photo by hani Pirzadian on Unsplash

Yesus Gembala yang Baik: Bagian Kedua (Yoh. 10:14-15)

“Apakah Kekristenan adalah sebuah agama?” KBBI menjabarkan agama sebagai “ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.” Menurut definisi ini, Kekristenan bisa digolongkan sebagai agama.

Namun demikian, ada perbedaan mendasar antara Kekristenan dengan agama-agama lainnya di dunia. Semua agama mengajarkan pemeluknya untuk berusaha meraih yang lebih tinggi (entah berupa surga, nirwana, atau yang lain). Caranya? Dengan mematuhi perintah agama, melakukan berbagai ritual keagamaan, dan berbuat baik. Agama-agama mengajarkan bagaimana manusia bisa mencari Tuhan dan berusaha untuk bisa hidup layak di hadapan-Nya.

Berbeda dengan itu, Alkitab menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang benar dan sungguh-sungguh mau mencari Allah (Rm. 3:11-12). Semua manusia sudah jatuh dalam dosa, dan karena itu, sesaleh apapun hidup mereka, tidak ada yang layak di hadapan Allah (Yes. 64:6).

Oleh sebab itu, bukan manusia yang mencari Allah, tetapi justru Allah yang mencari manusia. Tuhan Yesus berkata, “Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang” (Luk. 19:10). Hanya melalui penebusan Kristuslah, manusia bisa disucikan dari dosa-dosanya dan dipulihkan relasinya dengan Allah, yang tadinya rusak oleh dosa.

Jadi, Kekristenan sangat menekankan relasi (relationship). Perbuatan baik dan aktivitas rohani dilakukan bukan untuk memperbaiki relasi kita dengan Allah. Tetapi, dilakukan sebagai wujud ucapan syukur atas relasi kita dengan Allah yang telah dipulihkan oleh Kristus. Tanpa didasari relasi yang benar dengan Allah, maka semua kebaikan kita tidak mungkin berkenan bagi Allah.

Konsep relasi antara Allah dengan umat-Nya ini secara konsisten dinyatakan di dalam Alkitab. Komitmen Allah untuk mengasihi umat-Nya tidak dapat dipisahkan oleh berbagai kesengsaraan, tekanan dari para musuh, dan bahkan ketidaktaatan yang dilakukan umat-Nya. Di sepanjang Perjanjian Lama, berulang kali kita melihat bagaimana Allah dengan sabar menuntun umat-Nya, yang sering menyeleweng dan menyakiti hati-Nya (Mat. 23:37; Luk. 13:34).

Kemudian, di dalam Injil Yohanes pasal 10 ini, Tuhan Yesus digambarkan sebagai “Gembala yang Baik.” Gembala yang tidak sekadarnya saja menjaga domba-dombanya, seperti gembala upahan yang lari melihat kawanan serigala. Tetapi, Gembala yang sangat mengasihi domba-domba-Nya. Bahkan rela memberikan nyawa-Nya. Gembala ini sangat mengenal domba-domba-Nya, karena mereka adalah kepunyaan-Nya. Sebaliknya, domba-domba-Nya pun mengenal Sang Gembala, karena memiliki relasi dengan-Nya.

Jadi, berkat terbesar yang kita dapatkan di dalam Kristus bukanlah hidup kekal. Hidup yang tidak ada lagi keluh kesah dan ratap tangis. Apalagi, sekadar berkat jasmani di dunia. Tetapi, berkat terbesar yang kita dapatkan adalah pulihnya relasi dengan Allah. Itulah yang menjadi sumber sukacita kita, baik selama kita hidup di dalam dunia ini maupun setelah kita dibangkitkan dalam kekekalan.

Apa sukacita terbesar anda? Bagi domba-domba Tuhan, tiada yang lebih besar sukacitanya dibanding relasi yang pulih dengan Allah (Photo by Fuu J on Unsplash)

Apa dampaknya di dunia ini jika kita memiliki relasi yang benar dengan Allah?

Pertama, relasi yang benar dengan Allah akan mengikis keraguan kita akan kebaikan-Nya. Salah satu pergumulan yang sering dihadapi oleh anak-anak Tuhan adalah ketika kehidupan yang tidak berjalan sesuai dengan keinginan. Musibah bisa datang tiba-tiba secara berkepanjangan. Ketika itu terjadi, sangat mudah bagi kita untuk meragukan benarkah Allah itu baik.

Tetapi jika kita memiliki relasi yang benar dengan-Nya, maka keadaan sesulit apapun di dunia tidak akan menggoyahkan kepercayaan kita kepada-Nya. Seperti Ayub, yang tidak habis pikir mengapa Allah membiarkan dirinya mengalami penderitaan seperti itu. Namun akhirnya, pengenalan akan Allah memupus semua keraguannya (Ayb. 42:5-6).

Maka, jagalah relasi dengan Allah. Bertekunlah dalam doa, penggalian firman Tuhan, saat teduh, dan sebagainya. Itu semua akan menguatkan otot-otot rohani kita. Seperti Tuhan Yesus ketika dicobai, kita juga akan mampu melawan cobaan jika memiliki kekuatan yang didasarkan atas firman Tuhan.

Sebaliknya, jika selama ini kita hanya menghabiskan waktu demi hal-hal yang fana, jangan heran ketika cobaan datang, kita tidak memiliki kekuatan apa-apa. Bahkan, kehadiran Allah pun akan sulit kita rasakan.

Kedua, relasi yang benar dengan Allah membuat kita tidak lagi mencari kepuasan di luar Allah. Apa yang membuat kita puas mencerminkan siapa kita. Seorang hamba uang baru akan merasa puas ketika mendapat uang. Seorang yang tidak percaya diri baru akan merasa puas ketika mendapat pengakuan.

Demikian pula, domba-domba Tuhan baru akan merasa puas ketika memiliki relasi dengan Gembala. Sungguh aneh jika ada domba-domba Tuhan yang justru merasa puas ketika hidup berjauhan dengan Sang Gembala. Lebih suka menghabiskan waktu untuk mencari keuntungan dibanding membangun pengenalan akan Tuhan.

Kepuasan yang seperti ini semakin kita kejar justru akan semakin membuat hidup kita hampa (lihat tokoh-tokoh seperti perempuan Samaria, Zakheus, dan Yudas dalam Injil Yohanes). Mengapa? Karena itu hal yang fana. Kita akan mudah diombang-ambingkan dengan suara yang bukan Injil. Bukan hanya berupa ajaran sesat, tetapi juga suara-suara yang menuntun kita untuk lebih menuruti nafsu kedagingan dibanding menikmati relasi dengan Allah.

Ketiga, relasi yang benar dengan Allah akan membuat kita bisa mengasihi-Nya dengan benar. Mungkin, selama ini kita sering mendekati Tuhan dengan cara yang salah. Misalnya, taat kepada Tuhan dengan harapan bisa melunakkan hati-Nya. Kecewa kepada Tuhan ketika mendapat musibah, padahal sudah merasa habis-habisan untuk Tuhan. Atau, kurang bersyukur karena Tuhan tidak memberikan kita kehidupan yang luar biasa.

Bukankah itu menandakan bahwa kita belum sungguh-sungguh memiliki relasi dengan-Nya? Kita tidak menyadari siapa itu Tuhan dan siapa diri kita. Kita juga tidak menyadari betapa besar kasih yang dianugerahkan kepada kita, sampai-sampai nyawa-Nya sendiri diberikan bagi kita. 

Pergumulan lain yang sering dihadapi oleh anak-anak Tuhan adalah tetap taat kepada-Nya walaupun itu berlawanan dengan pikiran kita. Banyak alasan yang bisa membuat kita ragu bahwa perintah Tuhan itu baik. Misalnya, kok enak harus mengampuni orang itu? Atau, keadaan sedang sulit, bagaimana mungkin saya bisa bersaing kalau tetap jujur?

Tanpa memiliki relasi yang benar dengan Allah, maka perintah-Nya akan terasa berat. Dalam Injil Yohanes, ada murid-murid yang mengundurkan diri setelah mendengarkan perkataan Tuhan Yesus yang “keras” (Yoh. 6:60, 66). Inilah yang membuat banyak orang gagal untuk mendengar suara Tuhan.

Namun ketika memiliki relasi dengan Allah, maka kita mampu untuk taat menjalankan kehendak-Nya. Kita tidak akan melakukannya dengan terpaksa atau mengharapkan imbalan (termasuk juga imbalan “surga,” karena kita sudah mendapatnya di dalam Kristus). Inilah yang membedakan cara kita mengasihi Allah dengan cara orang dunia mengasihi allah mereka.

Jika relasi dengan Allah membawa dampak yang besar di dunia ini, apalagi dalam kekekalan, maka tanyakanlah pada diri kita, apakah pikiran dan aktivitas kita selama ini membangun keintiman dengan Allah atau merusaknya? Amin

REFLEKSI

Dikasihi oleh Allah merupakan relasi, pencapaian, dan kedudukan tertinggi dalam hidup ini (Henry Blackaby)

PERTANYAAN-PERTANYAAN UNTUK DIRENUNGKAN

  1. Apakah yang meyakinkan Anda bahwa Anda adalah domba-domba Kristus?
  2. Apakah yang kita pikirkan dan lakukan selama ini membuat relasi kita dengan Allah semakin intim, atau justru merusaknya?

AYAT-AYAT ALKITAB PENDUKUNG

14 Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku 15 sama seperti Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa, dan Aku memberikan nyawa-Ku bagi domba-domba-Ku.(Yoh. 10:14-15)

11 Tidak ada seorangpun yang berakal budi, tidak ada seorangpun yang mencari Allah. 12 Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorangpun tidak. (Rm. 3:11-12)

Demikianlah kami sekalian seperti seorang najis dan segala kesalehan kami seperti kain kotor; kami sekalian menjadi layu seperti daun dan kami lenyap oleh kejahatan kami seperti daun dilenyapkan oleh angin. (Yes. 64:6)

Sebab Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang (Luk. 19:10).

“Yerusalem, Yerusalem, engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang diutus kepadamu! Berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu, sama seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya, tetapi kamu tidak mau.” (Mat. 23:37; Luk. 13:34)

5 Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. 6 Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu. (Ayb. 42:5-6)

60 Sesudah mendengar semuanya itu banyak dari murid-murid Yesus yang berkata: “Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?”

66 Mulai dari waktu itu banyak murid-murid-Nya mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia. (Yoh. 6:60, 66)

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply