Belakangan ini dunia dibuat takjub dengan kemunculan ChatGPT. Ini adalah program kecerdasan buatan yang dikembangkan oleh sebuah perusahaan yang bernama OpenAI. ChatGPT memiliki kemampuannya memberikan jawaban yang sangat mirip (bahkan melebihi) pakar dari kalangan manusia. Program ini bisa membuat tulisan untuk blog atau sebuah makalah dengan kualitas yang sangat baik. Bahkan, beberapa kali menembus tes-tes yang dikenal paling sulit di Amerika Serikat.
Kemunculan teknologi seperti ini tentu berdampak pada dunia Kekristenan. Seorang youtuber Kristen pernah mencoba “berdebat” masalah teologis dengan ChatGPT. Dan dari jawaban-jawaban yang dihasilkannya, kebanyakan dari kita pasti tidak mengira bahwa itu ditulis oleh mesin (beberapa waktu lalu Gubernur Ridwan Kamil pernah berpidato menggunakan naskah yang ditulis oleh ChatGPT!).
Dalam benak saya timbul pikiran, jika orang-orang Kristen memiliki akses ke sumber pengetahuan teologis yang lebih manusiawi dibanding Google, di manakah peran pengkhotbah ataupun pendeta di gereja? Bukankah secara manusiawi, mereka mudah lupa dan berbuat kesalahan?
Namun ketika merenungkan ulang Alkitab, saya mendapati ada banyak hal yang tidak mungkin dilakukan oleh program-program seperti ChatGPT ini. Salah satunya, mereka bisa memberi jawaban yang sangat rinci tentang suatu permasalahan teologis, namun mereka tidak bisa memberi teladan yang hidup! Ini adalah hal yang sangat penting ada dalam diri orang Kristen, terutama para pemberita firman. Bukankah Yakobus pernah berkata bahwa, “iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati” (Yak. 2:26)? Analoginya, seseorang yang sedang terbelit banyak utang tentu lebih percaya pada nasihat orang yang pernah mengalami masalah yang sama dan mampu mengatasinya.
Inilah yang dinyatakan Paulus dalam ayat enam dan tujuh. Paulus dan rekan-rekan pelayanannya tidak hanya memberitakan firman. Tetapi mereka juga memberikan teladan bagaimana hidup sesuai dengan firman yang mereka beritakan itu (bnd. ajakan Yesus, “Ikutlah Aku!” dalam Markus 1:17). Dalam budaya Yunani saat itu, memang begitulah konteks pembelajaran yang dilakukan oleh seorang guru pada murid-muridnya. Seorang guru tidak hanya NATO (no action talks only).
Jemaat Tesalonika mengenal sosok Paulus luar dalam (baca pelayanan Paulus di pasal kedua). Mereka tahu kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh Paulus dalam pelayanannya. Oleh sebab itulah, mereka pun mengikuti teladan (Ing. imitate) Paulus dan rekan-rekan pelayanannya dengan tetap beriman dan bersukacita di tengah kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi sebagai orang Kristen di bawah penindasan kekaisaran Roma. Teladan hidup itu pun menular sampai kepada orang-orang percaya di Makedonia dan Akhaya.
Sudahkah hidup kita layak menjadi teladan bagi orang-orang di sekitar kita? Tanpa keteladanan, pemberitaan firman tidak akan maksimal. Bahkan mungkin orang-orang di sekitar kita akan menganggap remeh Kabar Baik. Maka, “Awasilah dirimu sendiri dan ajaranmu” (1Tim. 4:16). Amin.
REFLEKSI
Dari semua tafsiran Alkitab, teladan yang baik adalah yang terbaik (John Donne)
PERTANYAAN DISKUSI
- (Jawablah sesuai peran sosial Anda) Teladan hidup seperti apakah yang Anda inginkan dalam sosok seorang ayah/ibu/pendeta/guru/atau peran lainnya dalam kehidupan Anda? Apakah Anda juga sudah memilikinya?
- Apa yang paling susah dalam diri Anda untuk dijadikan teladan bagi orang lain? Bagaimana Anda akan mengatasinya?
REFERENSI AYAT ALKITAB
6 Dan kamu mengikuti teladan kami dan teladan Tuhan; dalam penindasan yang berat kamu telah menerima firman itu dengan sukacita yang dikerjakan oleh Roh Kudus, 7 sehingga kamu telah menjadi teladan untuk semua orang yang percaya di wilayah Makedonia dan Akhaya. (1Tes. 1:6-7 TB2)
Yesus berkata kepada mereka, “Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.” (Mrk. 1:17 TB2)
Baca juga: