Apakah Memiliki Keinginan Duniawi Itu Dosa?
Photo by Jason Strull on Unsplash

Apakah Memiliki Keinginan Duniawi Itu Dosa?

Sepanjang pelayanan saya, ada banyak pertanyaan yang ditanyakan oleh orang-orang Kristen seputar keinginan/nafsu. Misalnya, apakah dosa jika saya ingin menjadi kaya? Saya ingin punya karir yang sukses dan bekerja di perusahaan besar, apakah tidak apa-apa di mata Tuhan? Serta banyak pertanyaan lain yang sejenis.

Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita lihat dari dua sudut pandang. Pertama, dari sudut pandang keinginan itu sendiri. Kemudian, dari sudut pandang talenta.

Sudut Pandang Keinginan

Manusia adalah makhluk yang diciptakan segambar dengan Allah. Jadi, adanya rasio, emosi, dan nilai-nilai estetika adalah hal yang wajar. Inilah yang menyebabkan kita memiliki keinginan.

Namun berhati-hatilah karena ada keinginan-keinginan yang tidak kudus. Misalnya, mengagumi keindahan (termasuk kecantikan) itu normal. Tetapi Tuhan Yesus mengingatkan supaya jangan keterusan dan kita berzina dalam hati. “Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya” (Mat. 5:28).

Keinginan-keinginan daging ini akan terus ada selama kita masih ada di dunia. Ini akan menjadi perjuangan seumur hidup. Kita baru akan sepenuhnya lepas dari keinginan daging setelah ada di surga. “Karena pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga” (Mat. 22:30). Bukan berarti kelak kita akan lepas dari semua keinginan. Tetapi seperti malaikat, apa yang kita inginkan di surga adalah hal-hal yang kudus.

Jadi, ketika kita menginginkan sesuatu, kita harus memerhatikan apakah keinginan itu benar? Ada beberapa panduan praktis untuk mengujinya.

Pertama, apakah yang kita inginkan secara tegas dilarang dalam Alkitab? Keinginan-keinginan seperti ingin melihat film porno, ingin membalas dendam, atau ingin orang lain celaka, jelas dosa. Lekas-lekaslah buang jika keinginan semacam ini mulai timbul dalam hati kita. Yakobus mengingatkan, “Tetapi tiap-tiap orang dicobai oleh keinginannya sendiri, karena ia diseret dan dipikat olehnya. Dan apabila keinginan itu telah dibuahi, ia melahirkan dosa; dan apabila dosa itu sudah matang, ia melahirkan maut” (Yak. 1:14-15).

Kedua, apakah motivasinya benar? Ketika kita ingin kaya supaya bisa pamer ke orang-orang, itu dosa. Lain halnya ketika motivasinya supaya kita bisa membantu banyak orang dan berbagian dalam mendukung pelayanan. Di dalam Alkitab, banyak orang kaya yang dipakai Tuhan (Abraham, Salomo, dan tokoh-tokoh dalam Perjanjian Baru). Jadi, ketika keinginan kita sudah selaras dengan firman Tuhan (minimal tidak bertentangan), maka kita perlu mendoakannya dan berusaha keras. Setelah tercapai, jangan lupa diri. Ingatlah selalu motivasi kita sebelumnya.

Ketiga, bagaimana respons kita ketika tidak mendapatkannya? Cara lain untuk menguji apakah keinginan kita benar adalah bagaimana respons kita jika Tuhan tidak memberikannya. Tuhan tahu apa yang terbaik dan kita bisa memuliakan-Nya dalam berbagai cara. Tidak harus kaya dulu baru bisa menjadi penyalur berkat. Bahkan, di dalam kekurangan, kita bisa lebih memuliakan Tuhan dan menjadi teladan. Ini yang dilakukan Ayub ketika “dihajar” habis-habisan. Dia sama sekali tidak menyalahkan Tuhan. Ketika istrinya memintanya untuk mengutuki Tuhan, Ayub menjawab, “Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya. (Ayb. 2:10)

Sekarang, mari kita melihat sisi yang lain, yaitu dari sudut pandang yang lain.

Sudut Pandang Talenta

Talenta adalah apapun yang diberikan Tuhan di dalam kehidupan kita. Bentuknya bisa bermacam-macam. Suara bagus, uang, keluarga, semuanya adalah talenta. Alkitab menyatakan bahwa kita harus menjadi penatalayan (steward) yang baik. Talenta itu harus kita kembangkan semaksimal mungkin. Bukan untuk dinikmati sendiri, tetapi untuk memuliakan Tuhan dan menjadi berkat bagi banyak orang. Tuhan murka kepada orang yang menimbun talentanya dalam-dalam. Baca pengajaran lengkapnya dalam Perumpamaan tentang Talenta (Mat. 25:14-30).

Dari sudut pandang ini, maka keinginan untuk “meraih yang lebih banyak” adalah hal yang wajar. Bahkan, orang-orang Kristen seharusnya otomatis menjadi teladan/unggul di bidangnya. Tetapi sebagaimana yang diajarkan dalam perumpamaan tersebut, Allah berhak untuk mengalokasikan berkat-Nya sesuai dengan porsi masing-masing. Dan itu tidak mungkin keliru.

Ada yang menjadi miliarder di usia muda. Ada yang seumur hidupnya rumah pun ngontrak. Ada yang punya bakat suara yang bagus sejak lahir. Yang lain berlatih keras pun masih fals. Tetapi itu bukan ukuran kasih Allah pada kita dan mutu pelayanan kita di mata-Nya. Asalkan kita sudah berusaha maksimal dan mengembalikan semuanya untuk kemuliaan-Nya, maka Allah berkenan. Perhatikan bahwa Allah menggunakan kata-kata pujian yang persis sama kepada hamba yang menerima dua dan lima talenta.

Jadi, jika kita sudah berusaha keras namun kenyataan berkata lain, mungkin sebatas itulah yang Allah karuniakan pada kita. “Manusia mempunyai banyak rencana, tetapi hanya keputusan TUHAN yang terlaksana” (Ams. 19:21). Tentu berbeda kasusnya jika masih malas-malasan atau tidak berani mencoba. Kita sendiri yang rugi karena tidak akan bisa menjalani hidup dengan maksimal.

Kesimpulan

Memiliki keinginan itu wajar. Tetapi, jangan sampai itu hanya sebatas untuk memuaskan hawa nafsu kita. Kita harus memuliakan Allah melalui keinginan itu. Kemudian, kita harus tunduk pada Allah yang berdaulat menentukan apakah keinginan kita itu akan tercapai atau tidak.

BACA JUGA:

https://www.gotquestions.org/Indonesia/mengatasi-nafsu.html

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply