dekalog – STUDIBIBLIKA.ID http://studibiblika.id Informasi Seputar Alkitab dan Dunia Pelayanan Kristen Sat, 08 Feb 2020 07:48:42 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=5.3.3 https://i1.wp.com/studibiblika.id/wp-content/uploads/2019/08/cropped-icon_512.png?fit=32%2C32 dekalog – STUDIBIBLIKA.ID http://studibiblika.id 32 32 163375744 Jangan Membuat Bagimu Patung yang Menyerupai Apapun (Kel. 20:4-6) http://studibiblika.id/2019/06/09/seri-pa-sepuluh-perintah-perintah-kedua-jangan-membuat-bagimu-patung-yang-menyerupai-apapun/ http://studibiblika.id/2019/06/09/seri-pa-sepuluh-perintah-perintah-kedua-jangan-membuat-bagimu-patung-yang-menyerupai-apapun/#respond Sun, 09 Jun 2019 23:45:08 +0000 http://studibiblika.id/?p=77

Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku, tetapi Aku menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi Aku dan yang berpegang pada perintah-perintah-Ku.(Kel. 20:4-6)

 

RENUNGAN

Dalam sebuah kesempatan pelayanan kepada seorang ibu yang ketakutan dengan roh-roh jahat, saya mendapati satu kenyataan yang cukup menggelitik. Karena tinggal sendirian dan katanya sering diganggu makhluk halus, ibu itu memasang banyak lambang salib dan ayat Alkitab di dinding rumahnya. Dengan cara demikian, beliau merasa sedikit aman karena percaya makhluk halus itu akan takut dengan lambang salib dan ayat-ayat Alkitab.

Secara pastoral, saya memahami tindakan ibu itu untuk lebih merasakan kehadiran Allah. Tetapi di lain pihak, praktik semacam ini justru dilarang oleh Allah sendiri. Apa yang sesungguhnya dilakukan oleh ibu itu justru membatasi kehadiran Allah pada benda-benda tertentu. Padahal, Allah hadir di manapun dan kuasa-Nya tidak memerlukan perantara semacam itu.

Apa yang dilakukan oleh ibu itu, dalam batas-batas tertentu, mungkin juga dilakukan oleh banyak orang Kristen lainnya. Misalnya, ada orang-orang Kristen yang percaya bahwa anggur perjamuan kudus mempunyai khasiat khusus, sehingga mereka membawa pulang untuk diminumkan pada anggota keluarga yang sakit. Ada juga orang-orang Kristen yang hanya ingin didoakan pendeta, karena merasa lebih manjur. Di sisi lain juga, ada orang-orang Kristen yang masih mengikuti mitos karena ingin selamat. Misalnya, mengucapkan salam atau membunyikan klakson ketika melewati jalan yang dianggap angker. Semua tindakan tersebut menunjukkan bahwa mereka masih “menghormati” kuasa di luar Allah.

Melalui perintah kedua dalam Dasa Titah ini, Allah tidak mau umat-Nya melakukan hal-hal seperti itu. Dengan kuasa-Nya, Allah telah melepaskan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir sehingga mereka bisa beribadah dengan layak kepada-Nya. Wajar jika kemudian bangsa Israel dilarang menyembah allah-allah lain, yang sebenarnya tidak mempunyai kuasa apa pun. Demikian pula kita, jika sudah ditebus dengan darah yang mahal, bukankah menjadi kemunduran jika masih bergantung atau malah takut dengan kuasa-kuasa di luar Allah?

 

PENGGALIAN

Pada zaman Israel kuno, penyembahan kepada dewa-dewa sangat umum ditemui pada bangsa-bangsa di Timur Dekat Kuno. Mereka percaya bahwa dewa-dewa mereka “hidup” di dalam patun-patung sembahan. Melalui perintah ini, Allah melarang umat-Nya untuk menyembah berhala, yaitu sesuatu yang dipahat dari kayu, batu, maupun logam (Yes. 40:19; 44:10). Perintah ini juga mengingatkan bahwa bangsa Israel dilepaskan dari perbudakan di Mesir supaya mereka bisa beribadah kepada Allah di gunung Sinai (Kel. 3:12; 4:23; 7:16; 8:1 [7:26]; 8:20 [16]; 9:1-13; 10:3, 7, 8, 11, 24, 26; 12:31). Jika kemudian bangsa Israel menyembah allah lain, itu berarti kemunduran bagi mereka.

Perintah ini tidak hanya melarang bangsa Israel untuk membuat dan menyembah patung yang merepresentasikan Allah. Memang dengan cara ini, manusia mencampurkan antara Allah Sang Pencipta dengan ciptaan. Namun lebih jauh lagi, perintah ini juga melarang bangsa Israel untuk membuat dan menyembah patung-patung yang benar-benar berhala, yang mengacu pada dewa-dewa.

Dengan menyembah patung-patung berhala, umat Allah menyakiti hati Allah. Kata cemburu (Ibr. qn’) dalam perintah ini diambil dari realitas pernikahan, di mana seseorang akan merasa cemburu ketika pasangannya melakukan perselingkuhan (Bil. 5:14, 30; Ams. 6:34-35; Kel. 20:5). Allah menyatakan keemburuannya ketika umat-Nya menyembah allah lain (Kel. 34:14; Ul. 4:24; 6:15; 32:16, 21; Mzm. 78:58; bnd. Yos. 24:19; 1Raj. 14:22).

Kemudian, apa arti pembalasan yang akan Allah lakukan di sini, bahkan hingga keturunan keempat? Perlu diperhatikan bahwa perintah ini tidak mengajarkan bahwa Allah akan menghukum anak-anak akibat dosa orang tuanya (karena berlawanan dengan Yeh. 18:20a, “Orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati. Anak tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya dan ayah tidak akan turut menanggung kesalahan anaknya”). Yang dimaksud dalam ayat ini adalah, anak-anak akan ikut menderita akibat dosa orang tuanya yang menyembah berhala. Memang berulang kali dalam Alkitab dinyatakan bahwa anak-anak bisa turut menderita karena orang tua mereka melakukan dosa (Im. 26:29; Yos. 7:22-26; Rat. 5:7). Dalam kasus penyembahan berhala ini, anak-anak bisa sangat menderita karena jika orang tua tidak mengajarkan iman yang benar, maka anak-anak mereka kemungkinan besar akan kehilangan keselamatan kekal. Dalam Perjanjian Lama, kita melihat bagaimana kehidupan bangsa Israel sangat menyimpang ketika para pemimpin dan orang tua berpaling dari Tuhan (baca kitab Hakim-Hakim dan Raja-Raja).

Di dalam Perjanjian Baru, larangan terhadap penyembahan berhala juga mendapat penekanan yang besar. Paulus menyatakan bahwa para penyembah berhala sebenarnya adalah orang-orang yang bodoh: “Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat, tetapi mereka telah menjadi bodoh. Mereka menggantikan kemuliaan Allah yang tidak fana dengan gambaran yang mirip dengan manusia yang fana, burung-burung, binatang-binatang yang berkaki empat atau binatang-binatang yang menjalar” (Rm. 1:22-23). Ini berlawanan dengan pernyataan Alkitab bahwa “Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran” (Yoh. 4:24).

Jika demikian, apakah jika orang Kristen menyembah Tuhan Yesus, berarti mereka menyembah berhala? Tentu saja tidak. Tuhan Yesus adalah gambar wujud  Allah yang tidak terlihat (Kol. 1:15; Ibr. 1:3). Barang siapa melihat Tuhan Yesus, dia telah melihat Allah sendiri (Yoh. 14:9).

 

PERTANYAAN DISKUSI

  1. Apakah orang Kristen tidak boleh membuat patung (misalnya, sebagai seorang seniman Kristen) atau memasang patung di rumah? Bagaimana dengan lambang salib atau patung Tuhan Yesus yang dipasang di rumah atau di gereja?

Panduan diskusi:

Jika patung tersebut hanya bernilai artistik saja, dan bukan untuk penyembahan, maka Alkitab tidak melarangnya. Namun jika patung itu akan disembah orang lain, walaupun kita sendiri tidak menyembahnya, maka kita tidak boleh membuatnya. Hal seperti itu sama saja dengan kita “menyuburkan” penyembahan berhala.

Berkaitan dengan lambang salib boleh saja dipasang sebagai hiasan dan pengingat kita akan pengorbanan Kristus. Tetapi kalau dengan salib tersebut kita menjadikan ruangan terasa lebih suci, itu yang harus dihindari. Patung Tuhan Yesus pun dilarang, jika kita menyakralkannya (perlu diingat bahwa kita tidak mempunyai catatan yang pasti tentang sosok Tuhan Yesus secara fisik). Kehadiran Tuhan tidak bisa dibatasi oleh benda (patung), lokasi (gereja), dan sebagainya. “Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi, tidak diam dalam kuil-kuil buatan tangan manusia” (Kis. 17:24). Intinya, perintah ini melarang kita untuk menyembah benda-benda seperti itu. Jika dipakai untuk keperluan lain yang tidak merendahkan Tuhan, Alkitab tidak melarangnya.

  1. Apakah berhala benar-benar mempunyai kuasa?

Panduan diskusi:

Dalam Mzm. 115 tertulis demikian:

4 Berhala-berhala mereka adalah perak dan emas, buatan tangan manusia, 5 mempunyai mulut, tetapi tidak dapat berkata-kata, mempunyai mata, tetapi tidak dapat melihat, 6 mempunyai telinga, tetapi tidak dapat mendengar, mempunyai hidung, tetapi tidak dapat mencium, 7 mempunyai tangan, tetapi tidak dapat meraba-raba, mempunyai kaki, tetapi tidak dapat berjalan, dan tidak dapat memberi suara dengan kerongkongannya. 8 Seperti itulah jadinya orang-orang yang membuatnya, dan semua orang yang percaya kepadanya.

Alkitab menyatakan bahwa berhala, termasuk dewa-dewa, sebenarnya tidak mempunyai kuasa apapun. Obsesi orang-orang yang menyembahnyalah, yang menjadikan berhala tersebut kelihatan berkuasa. Sebagai contoh, orang-orang yang memasang patung dewa tertentu supaya dagangannya laris, memang bisa betul-betul laris, walaupun sebenarnya itu bukan karena pekerjaan dewa tersebut.

Namun demikian, kita pun tidak bisa mengabaikan bahwa ada roh-roh jahat yang di dunia. Ef. 6:12: “karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara.” Seperti dalam kasus Ayub, mereka dapat memberikan malapetaka (yang bisa juga dibungkus dengan hal yang kelihatan menyenangkan) kepada manusia, tetapi tetap dalam kontrol Tuhan. Orang Kristen tidak perlu takut dengan hal-hal semacam ini, karena “Roh yang ada di dalam kamu, lebih besar dari pada roh yang ada di dalam dunia” (1Yoh. 4:4). Tidak perlu takut jika saingan kita menggunakan kuasa gelap, karena kita memiliki Roh yang jauh lebih berkuasa dari mereka semua.

Karena obsesinya juga, orang-orang yang menyembah berhala akan menjadi sama seperti berhala itu. Mereka menjadi tidak lagi “hidup” dan kehilangan tujuan hidup yang benar. Berhala dalam kehidupan modern bukan hanya berbentuk patung, tetapi bisa bermacam-macam. Seseorang yang memberhalakan tubuh yang indah, akan berusaha mati-matian untuk meraihnya dengan berbagai cara (diet, olahraga, obat-obatan, dan operasi plastik). Semakin dia terobsesi, maka hidupnya hanya akan berpusat seputar itu dan dia akan kehilangan tujuan hidup yang lebih besar lagi, yaitu tujuan hidup seperti apa yang Allah mau untuk dia kerjakan di dunia. Sungguh hidup yang sia-sia untuk dijalani.

  1. Jelaskan kerugian yang terjadi pada keturunan kita jika kita berpaling dari Tuhan!

Panduan diskusi:

Jika orang tua gagal untuk meninggikan Tuhan dalam keluarga mereka, maka sebenarnya orang tua tersebut telah melanggar perjanjian dengan Allah (pada dasarnya, Dasa Titah ini merupakan perjanjian antara Allah, yang telah menebus umat-Nya, dengan umat Allah, yang harus mengucap syukur dengan hidup yang kudus sesuai dengan apa yang Allah mau). Akibatnya, ada hukuman yang menyertainya. Seringkali, kegagalan orang tua tersebut akan menjadikan anak-anak mereka menderita, bahkan hingga generasi-generasi di bawahnya. Kita dapat melihat bagaimana bangsa Israel selalu jatuh dalam penderitaan (dalam penindasan bangsa-bangsa asing dan kebejatan moral yang dilakukan bangsanya sendiri) ketika mereka menyimpang dari Tuhan. Buktinya, kita dapat melihat keterpurukan bangsa Israel pada masa Hakim-Hakim. Karena para leluhurnya berpaling dari Allah, maka generasi di bawahnya tidak bisa membedakan mana yang benar dan yang salah. Bahkan dalam Hak. 21:25 tertulis, “Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri.” Bukankah kehidupan masyarakat yang seperti ini sangat mengerikan?

Sering dikatakan bahwa anak-anak adalah peniru yang baik. Apa yang dilakukan orang tua, itulah yang akan membentuk diri seorang anak. Misalnya, menurut salah satu hasil penelitian dari American Journal of Public Helath, 40% dari remaja yang orang tuanya perokok juga akan menjadi perokok. Demikian pula orang tua yang tidak meninggikan Tuhan dalam kehidupan mereka juga akan membawa anak-anaknya terjatuh ke dalam kesesatan duniawi. Karena terbiasa melihat orang tuanya yang menyepelekan Tuhan, berpikir hanya mengejar ambisi duniawi, tidak melakukan prinsip-prinsip Alkitab dalam kehidupan sehari-hari, maka seorang anak juga cenderung akan mengembangkan perilaku seperti itu. Dan inilah yang akan menjadi pola bagi generasi-generasi berikutnya. Jadi jelas terlihat, bukan berarti anak-anaknya menanggung “kutuk keturunan” (berlawanan dengan Ul. 24:16, “Janganlah ayah dihukum mati karena anaknya, janganlah juga anak dihukum mati karena ayahnya; setiap orang harus dihukum mati karena dosanya sendiri”). Tetapi pola hidup orang tua yang buruk akan menyebabkan anak-anaknya mengembangkan pola yang sama, dan itu akan membuat hidup mereka menderita.

Tuhan Yesus pernah berkata: “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?” (Mat. 16:26). Apa gunanya menghasilkan anak-anak yang berhasil di dunia, ketika pada akhirnya mereka akan binasa dalam kekekalan? Sungguh sangat mengerikan! Marilah kita tetap berpegang setia pada perjanjian Tuhan, yang akan memberikan berkat bagi kehidupan kita, baik di masa sekarang maupun di kehidupan selanjutnya.

]]>
http://studibiblika.id/2019/06/09/seri-pa-sepuluh-perintah-perintah-kedua-jangan-membuat-bagimu-patung-yang-menyerupai-apapun/feed/ 0 77
Perintah Pertama: Jangan Ada Padamu Allah Lain di Hadapan-Ku (Kel. 20:3) http://studibiblika.id/2019/06/08/seri-pa-sepuluh-perintah-perintah-pertama-jangan-ada-padamu-allah-lain-di-hadapan-ku/ http://studibiblika.id/2019/06/08/seri-pa-sepuluh-perintah-perintah-pertama-jangan-ada-padamu-allah-lain-di-hadapan-ku/#respond Sat, 08 Jun 2019 06:29:15 +0000 http://studibiblika.id/?p=72

Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku” (Kel. 20:3)

 

RENUNGAN

Pak Matius merupakan salah seorang aktivis yang rajin di gerejanya. Suatu kali, dia izin untuk tidak ikut pelayanan di ibadah hari Minggu. Ketika ditanya oleh pendetanya, dia menjawab, “Maaf, Pak Pendeta, kali ini saya tidak bisa ikut karena ada hal penting yang harus saya lakukan. Kantor saya akan mengadakan gathering di luar pulau. Di sana tidak ada gereja, tetapi saya akan berdoa sendiri. Saya tidak enak hati dengan rekan-rekan di kantor kalau saya tidak ikut…”

Mendengar jawaban tersebut, Pak Pendeta menerangkan dengan lembut, “Betul, Pak Matius…. Bagus kalau kita mempunyai relasi pertemanan yang baik. Tetapi jangan sampai itu menjadi berhala.”

Pak Matius kaget. Dia menimpali, “Lo, Pak, saya masih orang Kristen, rajin ke gereja, bahkan setia melayani. Masa cuma izin sekali sudah dibilang menyembah berhala? Bapak jangan sembarangan menuduh orang ya!”

Jawaban Pak Pendeta itu sebenarnya sangat alkitabiah. Penyembahan berhala di masa modern sangat beragam bentuknya, tidak hanya berwujud pada ritual dan sesaji saja. Misalnya, seorang anak yang tidak bisa terlepas dari kecanduannya bermain mobile game, berarti dia sudah menjadikan permainan tersebut ilahnya. Orang tua Kristen yang masih melakukan penghitungan “hari baik” untuk menikahkan anaknya, karena takut malapetaka akan terjadi jika melanggarnya, sesungguhnya menandakan dia percaya ada kekuatan lain di luar Allah.

Dalam perintah pertama di Dasa Titah ini, Allah ingin agar umat-Nya menyembah Dia saja, Allah yang sejati. Artinya, jika mengaku menjadi umat Allah, maka kita tidak boleh berpaling kepada hal-hal lain yang membuat hati kita melekat dan bergantung kepadanya. Jika ada hal demikian, buanglah itu karena pengkhianatan kita itu akan sangat menyakiti hati Allah (Kel. 34:14). Padahal, Allah sudah rela menyerahkan Anak-Nya untuk menebus dosa-dosa kita.

 

PENGGALIAN

Formula dalam bahasa Ibrani yang digunakan dalam perintah ini (lō’ yihyeh/”jangan ada padamu”) menyatakan larangan untuk mempunyai relasi. Dalam hal ini, Allah menggambarkan relasi antara diri-Nya dengan bangsa Israel sebagaimana pernikahan, yang tidak boleh ada “orang ketiga.” Dalam konteks masa itu, bangsa Israel tidak boleh mempunyai relasi dengan dewa-dewa, termasuk memberi kurban (Kel. 22:20), menyebut nama (Kel. 23:13), sujud menyembah (Kel. 34:14), dan beribadah kepada mereka (Ul. 11:16).

Perlu diperhatikan bahwa Alkitab tidak semata melarang bangsa Israel untuk menyembah “ilah” lain. Tetapi, Alkitab dengan tegas menyatakan bahwa Allah adalah satu-satunya. Dewa-dewa sembahan bangsa lain (termasuk dewa-dewa yang disembah orang-orang di Timur Dekat Kuno waktu itu), hanyalah konsep manusia. Dewa-dewa tersebut sebenarnya tidak ada. Perhatikan ayat-ayat berikut (baca juga: Yes. 40:12-31; 43:8-13; 45:5-6; 46:5-13):

Sebab itu ketahuilah pada hari ini dan camkanlah, bahwa Tuhanlah Allah yang di langit di atas dan di bumi di bawah, tidak ada yang lain. (Ul. 4:32)

Beginilah firman TUHAN, Raja dan Penebus Israel, TUHAN semesta alam: “Akulah yang terdahulu dan Akulah yang terkemudian; tidak ada Allah selain dari pada-Ku.” (Yes. 44:6)

Jadi, sejak semula, Alkitab memang mengajarkan monoteisme (kepercayaan kepada satu Tuhan). Pada masa kini, hanya tiga agama yang meyakini ajaran monoteisme ini, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Tetapi perlu diperhatikan bahwa konsep monoteisme dalam ketiga agama tersebut tidak sama.

Namun demikian, bangsa Israel terus saja gagal menaati perintah ini. Sejak masuk tanah Kanaan, mereka sudah terpengaruh dengan dewa-dewa Kanaan (Baal, Asyera, dan Asytoret; mis. Hak. 2:13). Pada zaman raja-raja, banyak raja Israel yang jatuh juga di dalamnya. Contohnya, raja Ahab yang menyembah Baal (baca kisah nabi Elia melawan nabi-nabi Baal dalam 1Raj. 18) dan raja Manasye (yang sampai berani membuat rumah Tuhan di Yerusalem menjadi tempat pemujaan berhala, baca 1Raj. 21).

Di Perjanjian Baru, ajaran monoteisme ini juga dikuatkan kembali. Pada waktu dicobai, Tuhan Yesus menghardik Iblis: “Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!” (Mat. 4:10).

Sampai saat ini, orang-orang Kristen juga masih meneruskan perintah ini. Orang-orang Kristen menyembah hanya kepada satu Allah saja, yaitu Allah Tritunggal. Allah hanya satu, tidak ada yang lain, dan memiliki tiga pribadi, yaitu Allah Bapa, Allah Anak, yaitu Tuhan Yesus (Yoh. 1:1; 10:30; 14:9; Kol. 2:9), serta Roh Kudus (Kis. 5:3-4). Orang-orang Kristen pun dibaptis dalam nama Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus (Mat. 28:19).

(diolah dari berbagai sumber, terutama “The Ten Commandments: Ethics for the Twenty-first Century” karangan Mark F. Rooker, Nashville: B&H Academic, 2010).

 

PERTANYAAN DISKUSI

  1. Apa wujud pelanggaran perintah ini dalam kehidupan sehari-hari masa kini?

Panduan diskusi:

Martin Luther pernah berkata, “apapun yang membuat hatimu melekat kepadanya dan kamu bergantung kepadanya, itulah ‘allah’-mu.” Mungkin kita tidak secara ekstrim menyembah atau memberikan sesaji kepada dewa-dewa. Tetapi, apakah ada sesuatu yang membuat hati kita melekat dan kita menjadi bergantung? Misalnya, seorang pemuda yang sangat mencintai kekasihnya dan merasa tidak bisa hidup tanpanya, berarti dia sudah menjadikan kekasihnya itu tuhan dalam hidupnya. Pemuda yang seperti ini tidak akan segan-segan untuk meninggalkan imannya ketika kekasihnya itu membujuknya. Uang, kesehatan, hobi, karir, ambisi, keluarga, barang-barang elektronik, akun-akun media sosial, adalah sebagian contoh dari hal yang dapat menjadi berhala bagi orang Kristen masa kini.

Kemudian, jika ada sesuatu yang membuat kita takut secara berlebihan, sehingga meninggalkan kebenaran Alkitab, itu juga berhala. Seseorang yang takut kepada “roh-roh halus” (mungkin karena trauma pada masa kecil akibat terlalu banyak menonton film-film horor) berarti menganggap ada kuasa lain yang lebih besar dibanding Allah. Padahal Alkitab menyatakan: “Roh yang ada di dalam kamu, lebih besar dari pada roh yang ada di dalam dunia” (1Yoh. 4:4).

 

  1. Apa langkah praktis penerapan perintah ini dalam kehidupan sehari-hari?

Panduan diskusi:

Dalam Ul. 6:4-5, Allah berfirman: “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” Perhatikan dalam perintah ini, pengakuan akan Tuhan yang esa (satu-satunya, tiada yang lain) menjadi dasar untuk mengasihi Dia. Prinsipnya, kita harus merespons kasih Tuhan dengan melakukan segala sesuatu hanya satu tujuan, yaitu mengasihi dan memuliakan nama-Nya. Inilah yang harus kita evaluasi.

Benarkah kita sudah melakukan hal-hal ini untuk menyenangkan dan memuliakan Tuhan saja?

– Pelayanan di gereja. Apakah kita merasa ini “penampilan” untuk dilihat orang, atau sungguh-sungguh melayani Tuhan?

– Bisnis. Apakah kita melakukannya dengan cara-cara yang berkenan di hati Tuhan, walaupun terkadang itu merugikan kita?

– Pacaran. Apakah kita memilih pacar yang seiman dan sungguh-sungguh mengasihi Tuhan, ataukah ada hal lain yang terkait dengan nafsu, kebanggaan, atau dosa-dosa lainnya?

– Cita-cita. Apakah yang kita tuju sesuai dengan panggilan Tuhan dalam hidup kita sebagai garam dan terang serta penyalur berkat kepada sesama?

 

  1. Sebagai warga negara Indonesia yang hidup di tengah masyarakat yang berbeda-beda agama dan kepercayaan, bukankah kita harus menekankan toleransi? Bagaimana jadinya jika kepercayaan ini justru merusak hubungan dengan masyarakat?

Panduan diskusi:

Sebagai anak-anak Tuhan, kita tentu mempercayai bahwa Alkitab merupakan otoritas tertinggi. Oleh sebab itu, kita tidak boleh berkompromi. Kita wajib toleran terhadap pandangan agama lain, tetapi kita tidak boleh toleran terhadap kebenaran. Misalnya, kita tidak boleh melarang orang yang melakukan penyembahan kepada leluhur, karena itu hak mereka. Tetapi, kita tidak boleh ikut-ikutan berdoa kepada leluhur. Bagaimana jika kita menghadapi situasi terdesak dan diharuskan berkompromi? Pada dihadapkan kepada Mahkamah Agama yang melarang mereka untuk memberitakan Injil, Petrus dan para rasul berkata: “Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia” (Kis. 5:29). Sikap seperti ini jugalah yang harus menjadi pedoman kita.

 

]]>
http://studibiblika.id/2019/06/08/seri-pa-sepuluh-perintah-perintah-pertama-jangan-ada-padamu-allah-lain-di-hadapan-ku/feed/ 0 72