pelayanan – STUDIBIBLIKA.ID http://studibiblika.id Informasi Seputar Alkitab dan Dunia Pelayanan Kristen Mon, 04 May 2020 04:34:18 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=5.3.3 https://i1.wp.com/studibiblika.id/wp-content/uploads/2019/08/cropped-icon_512.png?fit=32%2C32 pelayanan – STUDIBIBLIKA.ID http://studibiblika.id 32 32 163375744 Apakah Ada Kata yang Hilang dalam 1Kor. 9:15? http://studibiblika.id/2020/04/28/apakah-ada-kata-yang-hilang-dalam-1kor-915/ http://studibiblika.id/2020/04/28/apakah-ada-kata-yang-hilang-dalam-1kor-915/#respond Tue, 28 Apr 2020 08:00:09 +0000 http://studibiblika.id/?p=874

Bagi kita yang membaca Alkitab secara cermat, mungkin pernah menemui kesulitan untuk mengartikan tanda “.. !” yang muncul dalam 1Kor. 9:15 berikut: “Tetapi aku tidak pernah mempergunakan satupun dari hak-hak itu. Aku tidak menulis semuanya ini, supaya akupun diperlakukan juga demikian. Sebab aku lebih suka mati dari pada … ! Sungguh, kemegahanku tidak dapat ditiadakan siapapun juga!

Tanda “.. !” tersebut sekilas dapat membingungkan karena seolah-olah ada kata yang hilang dan kalimatnya belum selesai. Memang benar, dalam bahasa Yunaninya pun, terlihat bahwa Paulus tidak menyelesaikan perkataannya.

καλὸν γάρ μοι μᾶλλον ἀποθανεῖν ἤ — τὸ καύχημά μου οὐδεὶς κενώσει.

Terjemahan literal: Sebab bagiku lebih baik mati daripada… [ada jeda di sini] tidak ada yang akan meniadakan kemegahanku!

Penghentian ini menandakan adanya emosi tertentu yang sedang dirasakan oleh seorang pembicara/penulis (seperti halnya pada 1Kor. 6:9; 15:1-2; Gal. 2:3-5, 6; 6:12; Flp. 2:29). Gaya bahasa semacam ini disebut aposiopesis. Istilah ini sebenarnya juga dikenal dalam bahasa Indonesia. KBBI mengartikan aposiopesis sebagai “penghentian pikiran yang belum lengkap secara tiba-tiba (dapat berupa penghentian kata atau frasa, pemutusan kalimat).”

Jadi, bukan berarti terjemahan LAI salah. Atau, Alkitab yang kita miliki kurang lengkap (ada bagian yang hilang). Tetapi memang Paulus sengaja tidak melengkapi kalimat tersebut karena luapan emosinya.

Ini mirip dengan apa yang kita lakukan sehari-hari. Misalnya, “Saya memang berniat untuk menyelesaikan permasalahan ini dengannya, tetapi…. Ya, begitulah.” Kalimat tersebut tidak lengkap untuk menunjukkan emosi tertentu (dan si pendengar sudah tahu artinya).

Sebenarnya, apa maksud Paulus dalam bagian yang sengaja dihentikan itu? Kita dapat melihatnya dari beberapa terjemahan Alkitab:

TB2: Sebab lebih baik aku mati daripada berbuat seperti itu.

BIMK: Lebih baik saya mati daripada kehilangan hal yang saya banggakan itu.

ESV: For I would rather die than have anyone deprive me of my ground for boasting.

NIV: for I would rather die than allow anyone to deprive me of this boast

NRSV: I would rather die than that—no one will deprive me of my ground for boasting!

Penafsiran tersebut bisa didapat jika kita mencermati seluruh perikop ini (bahkan seluruh kitab). Dalam pasal 9 ini, Paulus memaparkan bahwa sebagai rasul, dia berhak untuk menerima dukungan finansial dari jemaat di Korintus yang dia layani (ay. 1-14). Tetapi, dia rela mengesampingkan hak tersebut dan memilih untuk tetap menafkahi dirinya dengan menjadi  pembuat tenda demi mencapai tujuan yang lebih tinggi (ay. 15-27).

Perhatikan, Paulus tetap menerima dukungan finansial dari tempat-tempat lain yang dilayaninya (2Kor. 11:7-11). Tetapi khusus di Korintus, Paulus memilih untuk tidak menerimanya. Mengapa? Karena Paulus ingin membedakan dirinya dengan orang-orang pandai di Korintus yang sering menggunakan kemampuan bicara mereka untuk mencari kekayaan dan nama besar. Dia tidak mau, dengan menerima dukungan finansial dari jemaat Korintus, maka Paulus tidak lagi bisa memberitakan Injil dengan leluasa. Di sinilah Paulus bermegah, karena dapat memberitakan Injil tanpa “upah” (yang dapat membuat orang keliru menangkap motivasinya)!

Sebagai seorang yang dewasa rohani, Paulus memberi teladan kepada jemaat Korintus bahwa dia rela mengesampingkan hak demi kemajuan pekerjaan Tuhan. Bagaimana dengan kita? Apakah kita juga telah memiliki prinsip yang sama? Allah telah mencurahkan berkat-berkat-Nya bagi kita. Bahkan, Anak-Nya sendiri pun Dia korbankan. Relakah kita kehilangan secuil hak demi menuntun banyak orang menerima anugerah Allah?

Contoh kecil saja, kita dapat menahan diri untuk tidak melakukan hobi kita untuk sementara waktu. Uangnya kita tabung dan kita persembahkan untuk mendukung pelayanan tertentu di gereja, mendukung lembaga misi, atau membantu orang yang sedang kesusahan (terutama di masa pandemi ini). Dengan terbiasa melakukan itu dari hal-hal kecil, maka Tuhan akan menuntun kita untuk nantinya Dia libatkan dalam hal-hal yang lebih besar lagi, seperti Paulus.

]]>
http://studibiblika.id/2020/04/28/apakah-ada-kata-yang-hilang-dalam-1kor-915/feed/ 0 874
10 Fakta Unik Tentang Musa yang Wajib Kamu Ketahui http://studibiblika.id/2020/02/07/10-fakta-unik-tentang-musa-yang-wajib-kamu-ketahui/ http://studibiblika.id/2020/02/07/10-fakta-unik-tentang-musa-yang-wajib-kamu-ketahui/#respond Fri, 07 Feb 2020 01:48:16 +0000 http://studibiblika.id/?p=465 Siapa sih yang tidak kenal Musa? Sejak di Sekolah Minggu, kamu pasti sudah sering mendengar kisahnya. Sampai-sampai, beberapa produser Hollywood mengangkat kisahnya ke layar lebar. Sebut saja mulai dari The Ten Commandments (versi 1923 dan 1956) hingga Exodus: God and King (2014) yang disutradarai oleh Ridley Scott.

sumber gambar: merahputih.com

Tetapi tahukah kamu, selain mukjizat-mukjizat yang menyertainya ketika memimpin bangsa Israel keluar dari tanah Mesir, Musa juga memiliki beberapa catatan kehidupan yang unik.

1. Ketika bayi, Musa “dibuang” oleh orang tuanya

Ya, bayi Musa terpaksa dibuang oleh kedua orang tuanya karena mereka takut dengan raja Mesir yang memerintahkan untuk membunuh semua bayi keturunan Ibrani (bangsa Israel). Orang-orang Ibrani itu adalah keturunan Yakub. Mereka dulu mengungsi ke Mesir karena bencana kelaparan. Awalnya, keberadaan mereka diterima dengan baik karena Yusuf, salah satu keturunan Yakub, menjadi orang yang sangat berkuasa di Mesir. Namun setelah beberapa generasi, Mesir dipimpin oleh seorang raja yang tidak mengenal Yusuf. Karena orang-orang Ibrani makin bertambah banyak dan dikhawatirkan bisa mengadakan pemberontakan, maka raja Mesir itu menindas mereka dan berusaha menghabisi semua bayi laki-laki yang dilahirkan oleh orang-orang Ibrani.

sumber gambar: yiahara.com

Tetapi ia tidak dapat menyembunyikannya lebih lama lagi, sebab itu diambilnya sebuah peti pandan, dipakalnya dengan gala-gala dan ter, diletakkannya bayi itu di dalamnya dan ditaruhnya peti itu di tengah-tengah teberau di tepi sungai Nil; (Kel. 2:3)

2. Musa dibesarkan sebagai bangsawan di Mesir

Walaupun terlahir dari orang tua Ibrani, Musa diangkat anak oleh putri Firaun. Bahkan, nama Musa (artinya: “diangkat dari air”) juga diberikan oleh putri Firaun. Dengan kata lain, Musa adalah seorang bangsawan Mesir. Dengan status setinggi itu, wajar jika Musa mendapatkan pendidikan yang sangat baik. Tanpa dia tahu, sesungguhnya ini pun merupakan persiapan yang diberikan Tuhan. Keterampilan-keterampilan yang didapatnya di Mesir ini kelak sangat berguna bagi Musa dalam menjalani panggilan Tuhan.

Ketika anak itu telah besar, dibawanyalah kepada puteri Firaun, yang mengangkatnya menjadi anaknya, dan menamainya Musa, sebab katanya: “Karena aku telah menariknya dari air.” (Kel. 2:10)

Dan Musa dididik dalam segala hikmat orang Mesir, dan ia berkuasa dalam perkataan dan perbuatannya. (Kis. 7:22)

Apakah dengan mengenyam pendidikan terbaik di Mesir, Musa melupakan dirinya sebagai umat pilihan Tuhan? Ternyata tidak. Musa tetap disusui oleh ibu kandungnya sendiri. Kemungkinan besar, ibunya juga memberikan pemahaman-pemahaman dasar kepada Musa sebagai orang Israel. Itulah sebabnya ketika dewasa Musa tidak ragu untuk menunjukkan jati dirinya dan rela meninggalkan kehidupan yang mewah di Mesir (lihat poin ketiga).

5 Maka datanglah puteri Firaun untuk mandi di sungai Nil, sedang dayang-dayangnya berjalan-jalan di tepi sungai Nil, lalu terlihatlah olehnya peti yang di tengah-tengah teberau itu, maka disuruhnya hambanya perempuan untuk mengambilnya. 6 Ketika dibukanya, dilihatnya bayi itu, dan tampaklah anak itu menangis, sehingga belas kasihanlah ia kepadanya dan berkata: “Tentulah ini bayi orang Ibrani.” 7 Lalu bertanyalah kakak anak itu kepada puteri Firaun: “Akan kupanggilkah bagi tuan puteri seorang inang penyusu dari perempuan Ibrani untuk menyusukan bayi itu bagi tuan puteri?” 8 Sahut puteri Firaun kepadanya: “Baiklah.” Lalu pergilah gadis itu memanggil ibu bayi itu. 9 Maka berkatalah puteri Firaun kepada ibu itu: “Bawalah bayi ini dan susukanlah dia bagiku, maka aku akan memberi upah kepadamu.” Kemudian perempuan itu mengambil bayi itu dan menyusuinya. (Kel. 2:5-9)

23 Karena iman maka Musa, setelah ia lahir, disembunyikan selama tiga bulan oleh orang tuanya, karena mereka melihat, bahwa anak itu elok rupanya dan mereka tidak takut akan perintah raja. 24 Karena iman maka Musa, setelah dewasa, menolak disebut anak puteri Firaun, 25 karena ia lebih suka menderita sengsara dengan umat Allah dari pada untuk sementara menikmati kesenangan dari dosa. (Ibr. 11:23-25)

3. Musa memiliki catatan kriminal di masa mudanya

Jika kamu pernah merasa putus asa dengan masa lalu yang kelam, itu keliru. Musa ternyata juga mempunyai masa lalu yang kelam. Tidak hanya pernah “dibuang” oleh orang tuanya, tetapi dia juga memiliki catatan kriminal. Apa itu? Pembunuhan! Suatu kali, dia melihat budak Ibrani berkelahi dengan pengawas Mesir. Sebagai keturunan Ibrani, darah Musa mendidih. Dia lalu memukul pengawas tersebut hingga tewas. Kabar tersebut sampai ke telinga Firaun. Firaun sangat marah dan berikhtiar untuk membunuh Musa.

Karena takut, Musa melarikan diri ke Midian. Di sana dia menikah dengan perempuan Midian yang bernama Rehuellah Zipora. Selama kurang lebih 40 tahun, Musa lalu menjadi penggembala kambing domba mertuanya.

Walaupun dibesarkan di kalangan elit Mesir, Musa tetap memiliki solidaritas yang besar terhadap bangsanya. Sayangnya, dia belum mampu menyikapi sesuatu dengan benar sehingga terjadilah pembunuhan itu. Nantinya Musa akan ditempa karakternya oleh Tuhan, baik ketika menjadi penggembala kambing domba maupun penggembala bangsa Israel.

11 Pada waktu itu, ketika Musa telah dewasa, ia keluar mendapatkan saudara-saudaranya untuk melihat kerja paksa mereka; lalu dilihatnyalah seorang Mesir memukul seorang Ibrani, seorang dari saudara-saudaranya itu. 12 Ia menoleh ke sana sini dan ketika dilihatnya tidak ada orang, dibunuhnya orang Mesir itu, dan disembunyikannya mayatnya dalam pasir. (Kel. 2:11-12)

24 Karena iman maka Musa, setelah dewasa, menolak disebut anak puteri Firaun, 25 karena ia lebih suka menderita sengsara dengan umat Allah dari pada untuk sementara menikmati kesenangan dari dosa. (Ibr. 11:24-25)

4. Musa menerima panggilan Tuhan pada usia 80 tahun

Mungkin kamu bayangkan, dengan perjalanan panjang yang dilalui Musa, maka pastilah dia masih muda ketika menerima panggilan Tuhan. Keliru. Musa pertama kali menerima panggilan Tuhan pada usia yang tidak muda lagi, yaitu 80 tahun. Dan sebelum itu, dia hanyalah seorang penggembala kambing domba.

Perjalanan hidup Musa bisa dibagi menjadi tiga bagian. Usia 0-40 tahun sebagai bangsawan di Mesir. Usia 40-80 tahun sebagai penggembala kambing domba di Midian. Terakhir, usia 80-120 tahun sebagai pemimpin bangsa Israel dalam perjalanan di padang gurun.

Banyak orang merasa terlalu tua. Terlalu tua untuk kembali belajar…. Terlalu tua untuk berganti pekerjaan…. Atau terlalu tua untuk mengambil pelayanan tertentu… Ingat, Musa memulai karir pelayanannya “secara resmi” pada usia 80 tahun! Jangan pernah merasa terlalu tua untuk memulai sesuatu, apalagi kalau masih berusia 20-30-an tahun.

sumber gambar: findshepherd.com

1 Adapun Musa, ia biasa menggembalakan kambing domba Yitro, mertuanya, imam di Midian. Sekali, ketika ia menggiring kambing domba itu ke seberang padang gurun, sampailah ia ke gunung Allah, yakni gunung Horeb. 2 Lalu Malaikat TUHAN menampakkan diri kepadanya di dalam nyala api yang keluar dari semak duri. Lalu ia melihat, dan tampaklah: semak duri itu menyala, tetapi tidak dimakan api. 3 Musa berkata: “Baiklah aku menyimpang ke sana untuk memeriksa penglihatan yang hebat itu. Mengapakah tidak terbakar semak duri itu?” 4 Ketika dilihat TUHAN, bahwa Musa menyimpang untuk memeriksanya, berserulah Allah dari tengah-tengah semak duri itu kepadanya: “Musa, Musa!” dan ia menjawab: “Ya, Allah.” 5 Lalu Ia berfirman: “Janganlah datang dekat-dekat: tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat, di mana engkau berdiri itu, adalah tanah yang kudus.” (Kel. 3:1-5)

5. Musa pernah membuat Tuhan murka karena enggan menerima panggilan-Nya

Semua orang Kristen pasti mengakui bahwa panggilan Tuhan adalah mulia. Tetapi, tidak jarang panggilan itu dirasa terlalu berat. Musa salah satu yang mendapat berpikir demikian. Karena itulah, ketika Tuhan memerintahkan Musa untuk mengeluarkan bangsanya dari tanah Mesir, Musa sempat ngeyel dan beberapa kali berbantah dengan Tuhan. Sampai-sampai, Tuhan murka (Kel. 4:14). Musa  enggan menerima panggilan Tuhan ini karena dia tahu betul sifat bangsanya.

Jika kamu berada di posisi Musa, apakah kamu juga akan melakukan hal yang sama? Jika Tuhan mengutus kamu untuk melakukan suatu pelayanan bagi-Nya, berdoalah minta hikmat dan kekuatan. Roh Kudus pasti akan memberimu kekuatan.

Tetapi Musa berkata kepada Allah: “Siapakah aku ini, maka aku yang akan menghadap Firaun dan membawa orang Israel keluar dari Mesir?” (Kel. 3:11)

Lalu Musa berkata kepada Allah: “Tetapi apabila aku mendapatkan orang Israel dan berkata kepada mereka: Allah nenek moyangmu telah mengutus aku kepadamu, dan mereka bertanya kepadaku: bagaimana tentang nama-Nya?  —  apakah yang harus kujawab kepada mereka?” (Kel. 3:13)

Lalu sahut Musa: “Bagaimana jika mereka tidak percaya kepadaku dan tidak mendengarkan perkataanku, melainkan berkata: TUHAN tidak menampakkan diri kepadamu?” (Kel. 4:1)

Lalu kata Musa kepada TUHAN: “Ah, Tuhan, aku ini tidak pandai bicara, dahulupun tidak dan sejak Engkau berfirman kepada hamba-Mupun tidak, sebab aku berat mulut dan berat lidah.” (Kel. 4:10)

Tetapi Musa berkata: “Ah, Tuhan, utuslah kiranya siapa saja yang patut Kauutus.” (Kel. 4:13)

Maka bangkitlah murka TUHAN terhadap Musa dan Ia berfirman: “Bukankah di situ Harun, orang Lewi itu, kakakmu? Aku tahu, bahwa ia pandai bicara; lagipula ia telah berangkat menjumpai engkau, dan apabila ia melihat engkau, ia akan bersukacita dalam hatinya. (Kel. 4:14)

6. Musa adalah orang yang sangat lembut hatinya

Mungkin kamu menganggap bahwa sebagai seorang pemimpin, apalagi yang memimpin bangsa yang tegar tengkuk, maka Musa pastilah orang yang keras hatinya. Tetapi, Alkitab justru mencatat bahwa hati Musa sangat lembut. Sampai-sampai, dia mendapat perlawanan dari saudara kandungnya sendiri, yaitu Miryam dan Harun. Namun akhirnya, Tuhan sendiri yang membela Musa. Miryam lalu diberi hukuman dengan penyakit kusta.

Adapun Musa ialah seorang yang sangat lembut hatinya, lebih dari setiap manusia yang di atas muka bumi. (Bil. 12:3)

7. Musa memimpin sekitar dua juta orang di padang gurun

Ya! Kamu tidak salah baca: dua juta orang! Alkitab mencatat bahwa rombongan bangsa Israel yang keluar dari Mesir berjumlah kira-kira enam ratus ribu orang laki-laki. Itu tidak termasuk anak-anak dan perempuan. Jadi menurut perhitungan para ahli, totalnya ada sekitar dua juta orang.

Kamu mungkin pernah kewalahan memimpin belasan atau puluhan orang, baik itu sebagai ketua kelas, ketua panitia, atau ketua komisi pelayanan di gereja. Bayangkan kesulitan yang dihadapi Musa. Jika kapasitas tempat duduk di stadion Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta sekitar 88.000 kursi, maka orang yang dipimpin Musa cukup untuk memenuhi 22 stadion GBK! Tambahan lagi, orang sebanyak itu bukan hanya duduk diam, tetapi mengembara di padang gurun. Harus bongkar pasang tenda, dan sebagainya. Dan jangan lupa, bangsa yang dipimpin Musa itu dikatakan Tuhan sebagai bangsa yang tegar tengkuk/keras kepala (Kel. 32:9). Bayangkan betapa berat beban Musa…

Interior stadion Gelora Bung Karno (sumber gambar: wikipedia.id)

37 Kemudian berangkatlah orang Israel dari Raamses ke Sukot, kira-kira enam ratus ribu orang laki-laki berjalan kaki, tidak termasuk anak-anak. 38 Juga banyak orang dari berbagai-bagai bangsa turut dengan mereka; lagi sangat banyak ternak kambing domba dan lembu sapi. (Kel. 12:37-38)

8. Musa tidak ikut menikmati buah dari pelayanannya

Siapa sih yang tidak suka menikmati hasil kerja keras? Tetapi bagi para pelayan Tuhan, bukan itu yang utama. Apapun hasilnya, seorang pelayan Tuhan hanya diminta taat mengerjakan panggilan-Nya. Musa pernah “kelepasan” waktu bangsa Israel bersungut-sungut kekurangan air di Meriba. Musa marah. Tidak sesuai dengan apa yang diperintahkan Tuhan, dia memukulkan tongkatnya ke batu dan keluarlah air dari situ.

Bermula dari peristiwa itulah, Tuhan menyatakan kepada Musa bahwa dia tidak akan ikut menemani bangsanya untuk masuk ke tanah Kanaan. Kecewa? Mungkin. Tetapi walaupun begitu, Musa tetap menerima bagian yang luar biasa karena memasuki tanah Kanaan surgawi.

sumber gambar: shavei.org

12 Tetapi TUHAN berfirman kepada Musa dan Harun: “Karena kamu tidak percaya kepada-Ku dan tidak menghormati kekudusan-Ku di depan mata orang Israel, itulah sebabnya kamu tidak akan membawa jemaah ini masuk ke negeri yang akan Kuberikan kepada mereka.” 13 Itulah mata air Meriba, tempat orang Israel bertengkar dengan TUHAN dan Ia menunjukkan kekudusan-Nya di antara mereka. (Bil. 20:12-13)

9. Misteri melingkupi kematian Musa

Banyak tokoh dunia yang kematiannya diliputi misteri. Sebut saja Bruce Lee (ahli beladiri paling terkenal). Atau Kurt Cobain (vokalis Nirvana). Ternyata, kematian Musa pun diliputi berbagai misteri. Salah satunya, tidak seorang pun yang tahu di mana letak kuburan Musa.

5 Lalu matilah Musa, hamba TUHAN itu, di sana di tanah Moab, sesuai dengan firman TUHAN. 6 Dan dikuburkan-Nyalah dia di suatu lembah di tanah Moab, di tentangan Bet-Peor, dan tidak ada orang yang tahu kuburnya sampai hari ini. 7 Musa berumur seratus dua puluh tahun, ketika ia mati; matanya belum kabur dan kekuatannya belum hilang. 8 Orang Israel menangisi Musa di dataran Moab tiga puluh hari lamanya. Maka berakhirlah hari-hari tangis perkabungan karena Musa itu. (Ul. 34:5-8)

Misteri lain yang melingkupi seputar mayat Musa juga tercatat di dalam Perjanjian Baru. Hingga kini, para ahli belum mendapat jawaban yang pasti mengenai apa sebenarnya peristiwa yang menjadi latar belakang ayat ini.

Tetapi penghulu malaikat, Mikhael, ketika dalam suatu perselisihan bertengkar dengan Iblis mengenai mayat Musa, tidak berani menghakimi Iblis itu dengan kata-kata hujatan, tetapi berkata: “Kiranya Tuhan menghardik engkau!” (Yud. 1:9)

10. Musa adalah nabi terbesar bangsa Israel

Memimpin dua juta orang keluar dari perbudakan. Mengirim 10 tulah yang menakutkan di Mesir. Membelah laut Teberau. Menulis hukum Taurat. Penulis Alkitab paling produktif (jika dihitung, kitab-kitab Taurat Musa memiliki porsi 20% dari keseluruhan Alkitab). Apa lagi yang kurang? Tidak heran, Musa layak diangkat sebagai nabi terbesar dalam Perjanjian Lama.

Tetapi sebenarnya, ada yang lebih hebat dibanding Musa. Siapa? Allah sendiri! Kalau kamu membaca kitab-kitab Taurat baik-baik, kamu akan mengerti bahwa Musa itu sebenarnya sama seperti kita. Dia punya banyak kelemahan. Dia punya masa lalu yang kelam. Dan dia juga pernah melakukan pekerjaan remeh, yaitu menggembalakan kambing domba, selama 40 tahun. Namun di balik itu semua, Allah membentuk karakter dan memakai pengalaman Musa untuk menggenapi rencana-Nya. Allah mengubah Musa, yang tadinya bukan siapa-siapa, menjadi salah satu tokoh kepemimpinan terbesar yang pernah hidup.

10 Seperti Musa yang dikenal TUHAN dengan berhadapan muka, tidak ada lagi nabi yang bangkit di antara orang Israel, 11 dalam hal segala tanda dan mujizat, yang dilakukannya atas perintah TUHAN di tanah Mesir terhadap Firaun dan terhadap semua pegawainya dan seluruh negerinya, 12 dan dalam hal segala perbuatan kekuasaan dan segala kedahsyatan yang besar yang dilakukan Musa di depan seluruh orang Israel. (Ul. 34:10-12)

Jika mengamati fakta-fakta tentang Musa seperti itu, pelajaran apa yang dapat diambil?

Pertama, panggilan Tuhan tidak bergantung pada kemampuan kamu, namun pada anugerah Tuhan. Walaupun begitu, bukan berarti kamu boleh meremehkan persiapan untuk melayani. Ingat, Musa sempat mengenyam pendidikan terbaik di Mesir. Sebelum menggembalakan umat Israel di padang gurun, dia juga sudah belajar menggembalakan kambing domba selama 40 tahun, kenal betul tantangan padang gurun seperti apa.

Kedua, jika sudah yakin bahwa Tuhan memanggil kamu dalam suatu pelayanan, maka jangan ragu lagi. Apapun rintangan yang akan kamu hadapi, maka Tuhan pasti akan memberikan penyertaan-Nya. Panggilan pelayanan ini tidak harus di gereja ya…. Bisa juga Tuhan memanggilmu untuk studi di jurusan tertentu, atau bekerja di tempat tertentu. Apapun itu, ingat selalu untuk menjalaninya bersama Tuhan.

Ketiga, ini yang perlu diperhatikan juga… Ada pepatah “bukan langkah pertama yang penting, tetapi langkah terakhir.” Artinya, banyak orang yang begitu bersemangat dalam menjalani panggilan Tuhan di awal. Namun karena suatu hal, mereka gagal melakukannya. Demikian pula yang terjadi dengan Musa.

Semoga kita sekalian dapat belajar dari kisah hidup Musa ya…. Jangan ragu untuk mengikut Tuhan, dan jangan ragu pula untuk menjalani panggilan Tuhan. Jika Tuhan menyertai Musa, maka Tuhan juga pasti akan menyertai kita. Amin.

]]>
http://studibiblika.id/2020/02/07/10-fakta-unik-tentang-musa-yang-wajib-kamu-ketahui/feed/ 0 465
Kunci Kesetiaan Seorang Pelayan Tuhan (Luk. 5:1-11) http://studibiblika.id/2019/09/23/khotbah-luk-5-1-11-kunci-kesetiaan-pelayan-tuhan/ http://studibiblika.id/2019/09/23/khotbah-luk-5-1-11-kunci-kesetiaan-pelayan-tuhan/#respond Mon, 23 Sep 2019 14:27:15 +0000 http://studibiblika.id/?p=377

1 Pada suatu kali Yesus berdiri di pantai danau Genesaret, sedang orang banyak mengerumuni Dia hendak mendengarkan firman Allah. 2 Ia melihat dua perahu di tepi pantai. Nelayan-nelayannya telah turun dan sedang membasuh jalanya. 3 Ia naik ke dalam salah satu perahu itu, yaitu perahu Simon, dan menyuruh dia supaya menolakkan perahunya sedikit jauh dari pantai. Lalu Ia duduk dan mengajar orang banyak dari atas perahu. 4 Setelah selesai berbicara, Ia berkata kepada Simon: “Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan.” 5 Simon menjawab: “Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga.” 6 Dan setelah mereka melakukannya, mereka menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai koyak. 7 Lalu mereka memberi isyarat kepada teman-temannya di perahu yang lain supaya mereka datang membantunya. Dan mereka itu datang, lalu mereka bersama-sama mengisi kedua perahu itu dengan ikan hingga hampir tenggelam. 8 Ketika Simon Petrus melihat hal itu iapun tersungkur di depan Yesus dan berkata: “Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa.” 9 Sebab ia dan semua orang yang bersama-sama dengan dia takjub oleh karena banyaknya ikan yang mereka tangkap; 10 demikian juga Yakobus dan Yohanes, anak-anak Zebedeus, yang menjadi teman Simon. Kata Yesus kepada Simon: “Jangan takut, mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia.” 11 Dan sesudah mereka menghela perahu-perahunya ke darat, merekapun meninggalkan segala sesuatu, lalu mengikut Yesus.

(Luk. 5:1-11)

Pengantar

Billy Graham (sumber: billygraham.org)

Tahun lalu, tepatnya bulan Februari 2018, dunia Kekristenan kehilangan seorang tokoh besar, yaitu Penginjil Billy Graham. Kita tentu terkesan dengan rekam jejak pelayanannya: banyak orang yang bertobat setelah mengikuti KKR-nya, kedekatannya dengan pemimpin-pemimpin dunia, serta larisnya buku-buku yang ditulisnya. Tetapi di luar itu semua, saya mengagumi satu hal. Billy Graham mampu bertahan begitu lama dalam menjalani panggilan Tuhan (saat meninggal, usianya hampir 100 tahun). Hidupnya pun sepi dari berita negatif.

Di tengah begitu banyaknya tokoh Kristen yang harus berhenti dari panggilannya karena satu dan lain hal, tentu teladan hidup dari Billy Graham ini patut kita cermati. Mengapa Tuhan tetap memakai dia sampai begitu lama? Apa kuncinya? Pada kesempatan ini, marilah kita belajar dari sikap Petrus (dalam kisah ini disebut Simon) pada waktu dia dipanggil Tuhan Yesus untuk menjadi seorang penjala manusia.

1. Petrus Menebarkan Jalanya Seperti Perintah Tuhan Yesus

Bagian ini menceritakan panggilan Tuhan Yesus kepada Petrus dan kedua rekannya, Yohanes dan Yakobus. Pada waktu itu, Tuhan Yesus melihat mereka sedang membersihkan jala bersama para nelayan yang lain. Rupanya, semalaman mereka berkerja dengan sia-sia. Mereka tidak mendapat tangkapan sama sekali. Lalu Tuhan Yesus naik ke perahu Petrus dan meminta dia untuk menebarkan jalanya. Sepintas lalu, tidak ada yang salah dalam perintah ini. Tetapi jika kita perhatikan, perintah ini sangat janggal.

Secara logis, Petrus bisa menolak perintah Tuhan Yesus ini. Dia adalah seorang nelayan, sementara Tuhan Yesus dididik sebagai tukang kayu seperti ayahnya. Tentu saja, Petrus lebih tahu tentang menjala ikan dibanding Tuhan Yesus (ingat, pada waktu itu Petrus belum sepenuhnya tahu bahwa Yesus adalah Anak Allah). Kemudian, pada saat itu hari sudah terang. Jika malam sebelumnya saja para nelayan tidak mendapat ikan, apalagi siang hari!

Namun demikian, Petrus tetap saja menuruti perintah Tuhan Yesus. Dia pun bertolak ke tempat yang dalam dan menebarkan jalanya, tepat seperti apa yang diperintahkan Tuhan Yesus. Apa yang terjadi? Petrus memperoleh hasil tangkapan yang luar biasa banyak. Sampai-sampai jalanya pun robek! Bahkan ketika teman-temannya datang membantunya, dua perahu mereka hampir tenggelam karena terlalu banyaknya ikan yang didapat.

Inilah yang akan terjadi juga ketika kita mengarahkan pelayanan kita seperti apa yang Tuhan mau. Pelayanan kita tidak akan sia-sia, tetapi akan menjadi pelayanan yang berbuah banyak (tetapi bukan berarti selalu terlihat oleh mata, misalnya jumlah jemaat yang banyak belum tentu menurut Tuhan juga berbuah).

Sayangnya, banyak pelayan Tuhan yang mengarahkan pelayanan sesuai kehendak mereka sendiri. Misalnya, beberapa gereja “terpaksa” mengikuti trend yang tidak sesuai dengan Alkitab demi mempertahankan jemaat di tengah maraknya gereja-gereja yang terus bermunculan. Ada majelis (atau juga hamba Tuhan) yang menjalankan program di gerejanya sebagaimana dia berbisnis. Mereka merasa paling tahu. Lupa ada pribadi Yang Mahatahu. Walaupun bisa terlihat berhasil di mata manusia, tetapi pasti sia-sia di mata Tuhan.

Marilah kita belajar dari Petrus, yang patuh terhadap apapun arahan Tuhan Yesus walaupun terlihat tidak masuk akal. Tuhanlah yang memiliki pelayanan sehingga Dialah yang berhak menentukan arah pelayanan. Dan hanya Dialah yang mampu menjadikan pelayanan kita berbuah. Hal yang tidak mampu dilakukan oleh manusia.

2. Petrus Tersungkur di Hadapan Tuhan Yesus

Setelah mendapatkan tangkapan yang begitu banyak, Petrus langsung tersungkur di hadapan Tuhan Yesus. Bahkan dia “mengusir” Tuhan Yesus. Petrus tahu, Orang yang ada di hadapannya itu bukan orang biasa. Petrus tidak layak untuk berdekatan dengan-Nya.

Tetapi Tuhan Yesus malah berkata, “Jangan takut, mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia.” Ternyata, sikap Petrus itu justru menunjukkan bahwa dia memiliki hati yang benar untuk dibentuk menjadi seorang murid. Pada waktu Samuel memilih Daud di antara kakak-kakaknya, dia berkata, “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati” (1Sam. 16:7).

Betapa kelirunya jika dalam menjalankan panggilan Tuhan, kita malah membanggakan diri. Ada seorang hamba Tuhan yang pada waktu pertama kali berkhotbah, dia tidak bisa tidur karena takut. Tetapi setelah belasan tahun berkhotbah, dia merasa tidak perlu lagi melakukan persiapan. Seseorang yang begitu senangnya begitu terpilih dalam pelayanan gereja, setelah sekian lama dia merasa biasa dengan pelayanan tersebut. Akibatnya, dia menjauh dari Tuhan. Masih sibuk terlibat dalam pelaynaan, tetapi tidak lagi berdoa dan membaca firman Tuhan. Dan yang lebih sering terjadi, banyak orang tua Kristen yang tidak merasa perlu untuk mendidik anak-anaknya dalam firman Tuhan. Mereka merasa, keterampilan hidup yang mereka ajarkan kepada anak-anak mereka sudah cukup menjadi bekal hidup.

Jika demikian yang terjadi, jangan heran jika suatu saat mereka jatuh dan tidak dipakai oleh Tuhan lagi. Jangan heran melihat para hamba Tuhan jatuh, tokoh Kristen melakukan hal yang tidak terpuji, atau diri kita yang tidak mampu menjalani panggilan Tuhan dengan setia. Jika hati jauh dari Tuhan, maka Tuhan pun tidak akan mau memakai. Ibaratnya, akankah seorang pemilik perusahaan mau mempekerjakan karyawan yang selalu melawannya?

3. Petrus Meninggalkan Segala Sesuatu untuk Mengikut Yesus

Setelah Tuhan Yesus memanggil Petrus untuk menjala manusia, Petrus dan kedua rekannya (Yakobus dan Yohanes) pun langsung meninggalkan segala sesuatunya. Mengapa mereka bisa seperti itu? Karena mereka tahu seberapa tinggi nilai panggilan Tuhan Yesus yang akan mereka jalani. Jika tadinya mereka menjala ikan, demi memenuhi kebutuhan fisik, maka sekarang mereka menjala manusia, sesuatu yang bernilai rohani. Jika tadinya melakukan yang bernilai sementara (bagaimanapun ikan bisa busuk dan pasti habis), maka sekarang mereka melakukan yang bernilai kekal. Dan yang lebih penting lagi, apa yang mereka lakukan sekarang tidak akan pernah sia-sia (seperti hasil tangkapan malam sebelumnya).

Pada masa Perjanjian Baru, banyak budak yang akhirnya menjadi pengikut Kristus (sumber gambar: mindsoap.org).

Apakah dalam menjalankan panggilan Tuhan, kita semua harus meninggalkan segala sesuatu seperti Petrus dan kedua rekannya ini? Perlu diingat bahwa panggilan seperti ini sangat khusus, tidak semua orang dipanggil dengan cara demikian. Ketika Paulus mengajar bagaimana jemaat Korintus mengikuti panggilan Tuhan, dia berkata, “Baiklah tiap-tiap orang tinggal dalam keadaan, seperti waktu ia dipanggil Allah” (1Kor. 7:20). Paulus mengajarkan, jika seseorang mendapatkan panggilan Tuhan ketika dia masih berstatus budak, maka dia pun bisa menjalankan panggilan-Nya dengan status budak pula. Dan ketika seseorang mendapatkan panggilan Tuhan ketika dia masih belum disunat, maka dia tidak perlu disunat untuk menjalankan panggilan tersebut. Bahkan ketika Paulus dipanggul menjadi rasul, dia masih tetap bekerja sebagai pembuat tenda.

Jadi, kita tidak perlu merasa bersalah (atau merasa kurang serius) dalam menjalankan panggilan Tuhan seandainya kita tidak menjadi hamba Tuhan penuh waktu (full-timer). Kita tetap dapat menjalankan panggilan Tuhan dengan sepenuh hati, dengan tetap menjalani pekerjaan kita sehari-hari. Seperti kata beberapa orang, jangan sampai kita menjadi hamba Tuhan yang berjiwa bisnis (selalu berusaha mencari keuntungan). Lebih baik, menjadi pebisnis yang berjiwa hamba Tuhan! Yang penting, jalani pekerjaan kita itu demi sesuatu yang bernilai kekal (jangan hanya keuntungan duniawi, tetapi dalam rangka menjangkau jiwa dan menjadi berkat bagi sesama).

Penutup

Kita telah belajar dari Petrus bahwa Tuhan mencari orang yang taat kepada kehendak-Nya, rendah hati karena peka dengan kekudusan-Nya, dan sepenuh hati menjalankan panggilan-Nya. Pendeta Rick Warren, yang dimentori oleh Billy Graham selama 40 tahun bersaksi, bahwa kunci keberhasilan pelayanan Billy Graham adalah senantiasa meninggikan otoritas Alkitab, menyadari bahwa dirinya hanyalah pelayan Tuhan, dan fokus untuk memenangkan jiwa.

Inilah benang merah yang terdapat dalam diri para pelayan Tuhan. Jika ingin “berhasil” dalam panggilan Tuhan, janganlah mengejar penampilan, skill, berjejaring dengan orang-orang berpengaruh (atau pada masa kini, mengejar jumlah likes, views dan followers). Tetapi perhatikanlah apalah diri kita sudah mencerminkan murid Tuhan atau belum.

Marilah kita bersandar pada Roh Kudus untuk dapat meneladani sikap para tokoh iman ini. Dengan begitu, kita dapat menjalankan panggilan Tuhan dengan setia sampai akhir. Inilah satu-satunya cara untuk menjalani hidup yang bermakna. Amin.

Pertanyaan Refleksi:

1. Di antara ketiga hal yang diteladankan oleh Petrus, manakah yang paling sulit Anda lakukan? Mengapa?

2. Bagaimana tanggapan Anda terhadap orang-orang yang sebenarnya jauh dari Tuhan namun kelihatan begitu berhasil dalam pelayanan mereka?

3. Setelah menjadi murid Tuhan Yesus, Petrus pernah jatuh dan menyangkal Dia. Mengapa bisa terjadi? Bagaimana seharusnya yang kita lakukan untuk menghindari hal semacam ini?

]]>
http://studibiblika.id/2019/09/23/khotbah-luk-5-1-11-kunci-kesetiaan-pelayan-tuhan/feed/ 0 377
Jangan Menyerah dalam Menghadapi Tantangan Pelayanan (Hag. 2:1-10) http://studibiblika.id/2019/08/08/khotbah-hag-2-jangan-menyerah-dalam-menghadapi-tantangan/ http://studibiblika.id/2019/08/08/khotbah-hag-2-jangan-menyerah-dalam-menghadapi-tantangan/#comments Thu, 08 Aug 2019 23:01:27 +0000 http://studibiblika.id/?p=259

1 Pada hari yang kedua puluh empat dalam bulan yang keenam. Pada tahun yang kedua zaman raja Darius, 2 dalam bulan yang ketujuh, pada tanggal dua puluh satu bulan itu, datanglah firman TUHAN dengan perantaraan nabi Hagai, bunyinya: 3 “Katakanlah kepada Zerubabel bin Sealtiel, bupati Yehuda, dan kepada Yosua bin Yozadak, imam besar, dan kepada selebihnya dari bangsa itu, demikian: Masih adakah di antara kamu yang telah melihat Rumah ini dalam kemegahannya semula? Dan bagaimanakah kamu lihat keadaannya sekarang? Bukankah keadaannya di matamu seperti tidak ada artinya? 5 Tetapi sekarang, kuatkanlah hatimu, hai Zerubabel, demikianlah firman TUHAN; kuatkanlah hatimu, hai Yosua bin Yozadak, imam besar; kuatkanlah hatimu, hai segala rakyat negeri, demikianlah firman TUHAN; bekerjalah, sebab Aku ini menyertai kamu, demikianlah firman TUHAN semesta alam, 6 sesuai dengan janji yang telah Kuikat dengan kamu pada waktu kamu keluar dari Mesir. Dan Roh-Ku tetap tinggal di tengah-tengahmu. Janganlah takut! 7 Sebab beginilah firman TUHAN semesta alam: Sedikit waktu lagi maka Aku akan menggoncangkan langit dan bumi, laut dan darat; 8 Aku akan menggoncangkan segala bangsa, sehingga barang yang indah-indah kepunyaan segala bangsa datang mengalir, maka Aku akan memenuhi Rumah ini dengan kemegahan, firman TUHAN semesta alam. 9 Kepunyaan-Kulah perak dan kepunyaan-Kulah emas, demikianlah firman TUHAN semesta alam. 10  Adapun Rumah ini, kemegahannya yang kemudian akan melebihi kemegahannya yang semula, firman TUHAN semesta alam, dan di tempat ini Aku akan memberi damai sejahtera, demikianlah firman TUHAN semesta alam.”

(Hag. 2:1-10)

 

Pendahuluan

Sumber: griyabuku.co.id

Pada tahun 1997 Paul G. Stoltz menerbitkan sebuah buku yang sangat populer berjudul Adversity Quotient. Di dalam buku ini, Stoltz menjelaskan bahwa selain IQ (Intelligence Quotient/kecerdasan pikiran) dan EQ (Emotional Quotient/kecerdasan emosi), ada satu lagi kecerdasan yang dibutuhkan oleh seseorang dalam meraih sukses, yaitu AQ. AQ (Adversity Quotient) mengukur ketahanan seseorang terhadap rintangan yang dihadapi dan menggunakan seluruh kemampuannya untuk mengatasinya. Menurut Stoltz, inilah yang sebenarnya menjadi penentu kesuksesan. Orang yang memiliki bakat, modal, dan kecerdasan namun EQ-nya rendah tidak akan berhasil.

Karena itu, kita sering mendengar kisah orang-orang yang terlahir di tengah kesulitan, tetapi karena ulet dan pantang menyerah, akhirnya mereka bisa sukses. Misalnya, siapa sih yang tidak kenal Dahlan Iskan? Sebagai pemilik Grup Jawa Pos, mantan dirut PLN, dan mantan menteri BUMN, kita tidak akan meragukan kesuksesannya. Padahal, dia terlahir di tengah keluarga yang sangat miskin. Saking miskinnya, orang tuanya sampai tidak mampu membelikan dia sepatu. Namun karena tekadnya yang kuat, akhirnya Dahlan Iskan bisa meraih kesuksesan.

Demikian pula dalam dunia pelayanan. Dunia tidak kekurangan tokoh-tokoh iman yang bertahan hingga akhir pelayanannya, seperti Hudson Taylor (misionaris ke Tiongkok), Billy Graham (pengkhotbah KKR), atau Pdt. Bigman Sirait yang baru meninggal Juni lalu.

Melihat kisah hidup mereka, mungkin kita berpikir, AQ mereka pasti tinggi, sehingga bisa melayani begitu luas dan bertahan sampai akhir. Kalau yang AQ-nya biasa-bisa saja bagaimana? Apalagi, jika tantangan pelayanan begitu berat. Wajarkah kalau seorang Kristen undur ketika menghadapi tantangan pelayanan yang berat? Menurut Hag. 2:1-10, kita tidak boleh patah semangat ketika menghadapi kesulitan dalam pelayanan karena Tuhan berjanji untuk senantiasa menyertai kita.

 

1. Kesulitan yang Dihadapi dalam Pelayanan Bisa Membuat Patah Semangat

Siapakah Hagai? Dia adalah nabi Tuhan yang diutus kepada orang-orang Yahudi setelah mereka kembali ke Yehuda dari pembuangan di Babel. Ingat bahwa sepeninggal Salomo, Israel terpecah menjadi dua, yaitu kerajaan Israel di utara dan kerajaan Yehuda di selatan. Israel kemudian dihancurkan oleh Asyur pada tahun 722 SM, sedangkan Yehuda dihancurkan oleh Babel pada tahun 587 SM. Pada waktu Babel menghancurkan ibukota Yehuda (Yerusalem), bait suci yang menjadi kebanggaan orang Yahudi juga ikut dihancurkan. Tidak hanya itu, Babel juga membawa orang-orang Yahudi untuk menjadi orang buangan di negaranya, beberapa orang di antaranya ialah: Daniel, Sadrakh, Mesakh, dan Abednego.

Singkat cerita, Babel ditaklukkan oleh bangsa yang lebih kuat lagi, yaitu Persia. Kemudian pada tahun 538 SM, Tuhan menggerakkan hati raja Koresh, raja Persia waktu itu, untuk mengizinkan orang-orang Yehuda kembali ke Yerusalem. Mereka dipimpin oleh bupati Zerubabel dan imam besar Yosua. Pada waktu “pulang kampung,” mereka melihat Yerusalem sudah hancur dan mereka harus bekerja keras untuk membangunnya kembali. Selain itu, mereka juga mulai meletakkan fondasi bait suci.

Namun demikian, sekelompok orang menentang pembangunan itu dan menakut-nakuti penduduk Yehuda, karena mereka tidak ingin Yehuda menjadi bangsa yang kuat kembali. Bayangkan betapa beratnya tekanan fisik dan mental yang dihadapi oleh orang-orang Yehuda saat itu! Oleh sebab itu, selama 15 tahun tidak ada kemajuan dalam pembangunan bait suci. Semua peristiwa ini tercatat dalam Ezra pasal 1-4.

Akhirnya, setelah Raja Koresh digantikan oleh Raja Darius, Tuhan mengutus nabi Hagai untuk mengingatkan kembali bahwa membangun bait suci harus menjadi prioritas orang-orang Yehuda. Di dalam Hag. 1:14 dituliskan, “TUHAN menggerakkan semangat Zerubabel bin Sealtiel, bupati Yehuda, dan semangat Yosua bin Yozadak, imam besar, dan semangat selebihnya dari bangsa itu, maka datanglah mereka, lalu melakukan pekerjaan pembangunan rumah TUHAN semesta alam, Allah mereka.” Pemimpin pemerintahan, pemimpin agama, dan seluruh bangsa, semuanya digerakkan oleh Tuhan untuk membangun bait suci. Pelayanan di dalam gereja juga harus seperti ini. Jangan seperti suporter sepak bola. Yang bermain cuma sebelas orang, tetapi yang menonton dan berkomentar puluhan ribu orang (belum termasuk yang berkomentar di medsos).

Pada saat pengerjaan fondasi selesai, “seluruh umat bersorak-sorai dengan nyaring sambil memuji-muji Tuhan” (Ezr. 3:11), karena selama berada di pembuangan mereka sangat merindukan bait suci. Namun demikian, di dalam Ezr. 3:12 tercatat, “Tetapi banyak di antara para imam, orang-orang Lewi dan kepala-kepala kaum keluarga, orang tua-tua yang pernah melihat rumah yang dahulu, menangis dengan suara nyaring, ketika perletakan dasar rumah ini dilakukan di depan mata mereka, sedang banyak orang bersorak-sorai dengan suara nyaring karena kegirangan.” Generasi muda, yang lahir pada masa pembuangan dan belum pernah tahu bait suci itu seperti apa, sangat senang. Tetapi generasi tua, yang pernah melihat sendiri kemegahan bait suci, menangis.

Pada waktu membangun bait suci yang pertama, Salomo mampu mempekerjakan orang-orang terbaik dan mendapatkan material yang bermutu sehingga bait sucinya dibangun dengan megah. Tetapi pada waktu membangun bait suci yang kedua ini, bangsa Yehuda hidup dalam kondisi yang serba terbatas: kekurangan hasil panen, makanan, serta uang (Hag. 1:1-6). Karena itu, perhiasan dan perabotan yang nantinya ada di dalam bait suci yang baru ini tidak mungkin bisa menyamai apa yang pernah ada di dalam bait suci Salomo. Bukan hanya itu, benda-benda sakral yang dulu ada di dalam bait suci Salomo, seperti tabut perjanjian, tidak mungkin ada. Semua itu membuat tua-tua Yehuda patah semangat.

Melihat kondisi itu, Tuhan kemudian berfirman: “Masih adakah di antara kamu yang telah melihat Rumah ini dalam kemegahannya semula? Dan bagaimanakah kamu lihat keadaannya sekarang? Bukankah keadaannya di matamu seperti tidak ada artinya?” (Hag. 2:4). Ketika generasi berganti lalu menghadapi kesulitan, mereka patah semangat. Para pelayan Tuhan masa kini yang terlalu fokus pada kesulitan pun pasti akan kecewa dan patah semangat, seperti halnya tua-tua Yehuda itu.

Gambar bernada satir seperti ini sempat viral pada beberapa Pilpres yang lalu (sumber gambar: tribunnews.com)

Di dalam kehidupan gereja, fenomena yang sama biasa ditemui. Ketika berganti kepemimpinan, ada sebagian jemaat yang membanding-bandingkannya dengan pendahulu mereka.  Saya teringat dengan orang-orang yang memasang gambar Pak Harto yang sedang tersenyum sambil berkata: “Piye kabare, Le? Isih penak jamanku to? (Bagaimana kabarnya, Nak? Masih enak zaman saya kan?).”

Hal seperti ini pun dialami oleh tokoh-tokoh Alkitab. Misalnya, setelah dengan gagah berani melawan nabi-nabi Baal, Elia diancam akan dibunuh oleh Izebel. Dia kemudian melarikan diri dan sempat mengalami putus asa sampai “ingin mati” (1Raj. 19:4). “Mengapa setelah melayani Tuhan, nyawaku malah terancam?”, begitu mungkin pikir Elia. Kemudian, setelah Tuhan Yesus disalib, murid-murid guncang dan ingin kembali melakukan pekerjaan lamanya. “Aku pergi menangkap ikan” (Yoh. 21:3), kata Simon Petrus, yang kemudian diikuti oleh murid-murid lainnya. Mereka patah semangat karena beratnya beban pelayanan dan hasilnya pun tidak sesuai dengan apa yang mereka bayangkan.

Sampai saat ini, pergumulan yang sama masih terus terjadi di antara para pelayan Tuhan. Contohnya, pada pertengahan September 2015, seorang pendeta di Amerika Serikat, Pete Wilson, mengundurkan diri dari gereja yang didirikannya bersama isterinya sejak tahun 2003, Cross Point. Padahal, ibadah-ibadah di Cross Point sudah dihadiri oleh sekitar 7000 orang, dan dilangsungkan di lima lokasi. Bahkan gereja ini disebut sebagai salah satu gereja yang paling cepat pertumbuhannya di Amerika Serikat.

Pete Wilson bersama keluarganya. Istrinya mengajukan cerai setelah pengunduran dirinya (sumber gambar: urbanchristiannews.com)

Pengunduran diri itu disampaikan Pete pada ibadah minggu tanggal 11 September 2016. Dia berkata di hadapan jemaatnya: “Saya lelah. Saya hancur. Saya memerlukan istirahat. Saya mengasihi Anda semua.” Tidak ada penjelasan detail mengapa dia mundur. Berbagai media menyimpulkan bahwa Pete Wilson mengalami burn-out, suatu kondisi kelelahan fisik dan mental akibat terlalu banyaknya pekerjaan dan tekanan yang dihadapi seseorang.

Beban pelayanan yang berat bisa membuat orang sekaliber Pete Wilson patah semangat dan mundur dari pelayanan. Kalau hal seperti ini bisa terjadi pada orang yang pelayanannya terlihat sangat sukses, apalagi kita yang pelayanannya tampak biasa-biasa saja. Banyak hal yang bisa menggoyahkan pelayanan kita. Sudah melakukan pelayanan dengan sungguh-sungguh, tetapi masih saja dianggap kurang. Kemudian, gesekan dengan sesama rekan pelayanan pun tidak jarang kita alami. Belum lagi, adanya pengkhianatan, gosip yang tidak benar, dan bahkan ancaman, bisa saja ada di dalam pelayanan. Hal-hal semacam ini dapat melemahkan semangat kita dan bahkan bisa membuat kita mundur dari pelayanan. Bagaimana kita mengatasinya?

 

2. Kita Bisa Terus Maju Menghadapi Rintangan dalam Pelayanan karena Tuhan Berjanji untuk Senantiasa Menyertai Kita

Tadi sudah dijelaskan bahwa Tuhan memahami keadaan bangsa Yehuda yang patah semangat karena hasil pelayanan yang tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Tetapi bukan berarti keadaan seperti itu boleh membuat mereka mundur dalam pelayanan. Tuhan berfirman: “Tetapi sekarang, kuatkanlah hatimu, hai Zerubabel, demikianlah firman TUHAN; kuatkanlah hatimu, hai Yosua bin Yozadak, imam besar; kuatkanlah hatimu, hai segala rakyat negeri, demikianlah firman TUHAN; bekerjalah, sebab Aku ini menyertai kamu, demikianlah firman TUHAN semesta alam, sesuai dengan janji yang telah Kuikat dengan kamu pada waktu kamu keluar dari Mesir. Dan Roh-Ku tetap tinggal di tengah-tengahmu. Janganlah takut!” (Hag. 2:5-6).

Seluruh bangsa Yehuda, dari pemimpin hingga rakyatnya, diperintahkan untuk menguatkan hati. Jangan mundur dalam pelayanan. Mereka diperintahkan untuk terus bekerja karena Tuhan akan menyertai mereka. Inilah yang menjadi dasar bagi bangsa Yehuda untuk tidak patah semangat dan terus maju. Jika Tuhan yang mahakuasa, sang pemilik pelayanan, berjanji untuk menyertai mereka, apa lagi yang perlu dikhawatirkan? Dukungan seperti apa lagi yang mereka perlukan?

Melalui firman-Nya tersebut, Tuhan kembali menguatkan janji yang telah diberikan-Nya kepada nenek moyang mereka pada zaman Musa: “Aku akan diam di tengah-tengah orang Israel dan Aku akan menjadi Allah mereka. Maka mereka akan mengetahui, bahwa Akulah, TUHAN, Allah mereka, yang telah membawa mereka keluar dari tanah Mesir, supaya Aku diam di tengah-tengah mereka; Akulah TUHAN, Allah mereka” (Kel. 29:45-46). Zerubabel, Yosua, dan seluruh orang Yehuda diingatkan kembali akan kesetiaan Tuhan pada waktu menyertai nenek moyang mereka keluar dari Mesir.

Kemudian kalau kita perhatikan ayat 5b dan 6, di situ Tuhan tidak hanya berkata, “Aku ini menyertai kamu,” tetapi juga “Roh-Ku tetap tinggal di tengah-tengahmu.” Ini menunjukkan adanya tindakan yang terus-menerus dari Tuhan, dari dulu sampai sekarang. Artinya, penyertaan Tuhan yang dirasakan oleh nenek moyang bangsa Israel juga akan terus dirasakan oleh keturunan mereka pada zaman Zerubabel dan imam besar Yosua. Inilah yang menjadi dasar kekuatan bagi setiap para pelayan Tuhan, dan bukannya kekuatan duniawi.

Karena itu, Tuhan juga menegaskan bahwa kekhawatiran tua-tua Yehuda karena kekurangan material tidak beralasan. “Sebab beginilah firman TUHAN semesta alam: Sedikit waktu lagi maka Aku akan menggoncangkan langit dan bumi, laut dan darat; Aku akan menggoncangkan segala bangsa, sehingga barang yang indah-indah kepunyaan segala bangsa datang mengalir, maka Aku akan memenuhi Rumah ini dengan kemegahan, firman TUHAN semesta alam. Kepunyaan-Kulah perak dan kepunyaan-Kulah emas, demikianlah firman TUHAN semesta alam” (Hag. 2:7-9). Walaupun saat itu bangsa Yehuda tidak memiliki sumber daya yang melimpah seperti pada zaman Salomo, tetapi Tuhan tidak pernah kekurangan. Tuhan tidak perlu bergantung kepada apa pun atau siapa pun karena Dialah pemilik alam semesta, yang sanggup menyediakan sumber daya apapun yang dibutuhkan dalam pelayanan. Suatu saat, demikian nubuat Hagai, kemuliaan bait suci Zerubabel ini akan melebihi kemuliaan bait suci Salomo.

Ratusan tahun kemudian, tepatnya pada zaman Tuhan Yesus, nubuat itu akhirnya digenapi pada saat raja Herodes merenovasi bait suci secara besar-besaran untuk mengambil hati orang-orang Yahudi. Bait suci itu menjadi bangunan yang luar biasa megah. Buktinya, “Ketika Yesus keluar dari Bait Allah, seorang murid-Nya berkata kepada-Nya: ‘Guru, lihatlah betapa kokohnya batu-batu itu dan betapa megahnya gedung-gedung itu!’” (Mrk. 13:1).

Tetapi, puncak kemegahan bait suci bukanlah terletak pada bangunannya, namun pada kemuliaan Allah yang hadir di dalamnya. Tuhan Yesus berkata: “Aku berkata kepadamu: Di sini ada yang melebihi Bait Allah” (Mat. 12:6). Apa yang dijanjikan Allah melalui nabi Hagai akhirnya digenapi dengan kehadiran Kristus di dalam bait suci, dan ini yang membuat kemuliaan bait suci Zerubabel melebihi kemuliaan bait suci Salomo. Dan kemuliaan tersebut baru akan kita lihat puncaknya di surga, “Dan aku tidak melihat Bait Suci di dalamnya; sebab Allah, Tuhan Yang Mahakuasa, adalah Bait Sucinya, demikian juga Anak Domba itu. Dan kota itu tidak memerlukan matahari dan bulan untuk menyinarinya, sebab kemuliaan Allah meneranginya dan Anak Domba itu adalah lampunya” (Why. 21:22-23).

Dari sini kita melihat bahwa kegegalan tua-tua Yehuda terjadi karena mereka hanya mengukur hasil pelayanan dari apa yang mereka lihat saja. Padahal, bait suci hanyalah tempat dan lambang kehadiran Allah di tengah-tengah orang Israel. Yang penting bukan fisik bait sucinya, tetapi kehadiran Allah sendiri, yang menjadikan bait suci penuh dengan kemuliaan. Karena itu, walaupun bait suci yang telah direnovasi Herodes ini kembali dihancurkan oleh kekaisaran Romawi pada tahun 70, dan sampai sekarang tidak dibangun kembali, kita sebagai orang percaya yakin bahwa penyertaan Tuhan masih terus kita rasakan karena Tuhan Yesus telah berjanji, “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat. 28:20b).

Fokus pada janji penyertaan Tuhan akan membuat kita menjadi pelayan Tuhan yang tidak mudah menyerah dalam mengerjakan pelayanan sesulit apapun. Belajar seperti Oswald Chambers, pengarang buku renungan, “My Utmost for His Highest,” yang berkata: “Kita harus berdoa dengan mata memandang pada Tuhan dan bukannya pada masalah.” Apa yang terjadi dengan orang-orang yang melakukan hal itu? Saya akan menceritakan satu contoh kasus.

Hudson Taylor (sumber gambar: omf.org)

Hudson Taylor adalah seorang misionaris yang melayani di daratan Tiongkok pada abad ke-19. Dia merintis lembaga misi yang sekarang bernama OMF International. Salah satu moto pelayanannya adalah: “Pekerjaan Allah, yang dikerjakan sesuai dengan cara Allah, tidak akan kekurangan dukungan Allah.” Dukungan Allah yang dimaksud Hudson Taylor di sini adalah dukungan dalam bentuk apapun, baik itu uang, kesehatan, iman, damai sejahtera, ataupun kekuatan. Dia membuktikan sendiri kebenaran motonya ini sepanjang pelayanan misinya.

Di Tiongkok, dua orang anak dan isteri pertamanya meninggal. Dia terkena hepatitis dan sejak saat itu kesehatannya terus memburuk. Lembaga misinya pernah kehabisan uang. Dia mengakui, pelayanan seorang misionaris berat, monoton, dan seringkali terlihat jauh dari kesuksesan. Tetapi dengan mengandalkan Tuhan melalui doa, pelayanannya bisa terus maju. Ada saja cara Tuhan untuk membuatnya tetap bertahan dalam pelayanan hingga sepanjang 51 tahun pelayanannya, dia mendatangkan 800 misionaris, mendirikan 125 sekolah, dan mempertobatkan 18000 orang di Tiongkok dan OMF International masih terus melayani sampai sekarang.

Dari sini kita dapat melihat bahwa rintangan pelayanan bisa sangat berat, dan Tuhan memahaminya. Sebagai teladan pelayanan terbesar sepanjang masa, Tuhan Yesus tahu betul segala pergumulan yang mungkin dihadapi oleh para pelayan Tuhan. Karena itu, ketika kita bersandar pada janji penyertaan Tuhan, maka Dia akan memampukan kita untuk dapat menyelesaikan pelayanan karena jauh di atas pikiran kita, Dia mempunyai rancangan yang indah untuk pelayanan kita itu.

Pada waktu kita menghadapi rintangan dalam pelayanan, apa yang kita lakukan? Kecewa? Putus asa? Atau bahkan mundur? Jika pelayanan kita mengendur pada saat menghadapi kesulitan, berarti ada yang keliru dengan cara pandang kita. Mungkin kita berpikir, “saya yang bekerja paling keras,” atau “saya yang mendukung paling banyak,” maka “harus berjalan sesuai dengan keinginan saya.” Atau kita merasa aman karena ada orang-orang kuat dan bertalenta yang mendukung pelayanan kita. Padahal, pelayanan adalah milik Tuhan. Dialah yang memulai, Dialah yang akan mencukupi kebutuhannya, dan Dialah yang menentukan standar kesuksesannya.

Karena itu, gereja bisa ditinggalkan orang-orang kunci yang biasanya mendukung pelayanan, entah itu gembala, majelis, atau aktivis. Bahkan, gedung gereja bisa ditutup atau dibakar. Tetapi, apakah semua itu bisa menjadikan pelayanan gereja terhenti? Tidak. Rencana Tuhan tidak bergantung pada kondisi-kondisi yang ada di dunia. Tuhan tidak pernah kehabisan solusi. Asalkan pemimpin dan seluruh jemaatnya bersandar pada janji penyertaan Tuhan, maka gereja akan tetap berdiri sampai kapanpun karena ada rencana Tuhan di dalamnya.

Masalahnya, apakah kita semua telah benar-benar bersandar pada janji penyertaan Tuhan ini? Periksa apakah kita secara rutin mendoakan gereja kita? Apakah semangat kita masih bergantung kepada orang lain? Di dalam perikop ini, Tuhan menggerakkan para pemimpin beserta seluruh rakyat untuk bekerja. Artinya, kita semua diberi tanggung-jawab oleh Tuhan. Jangan mengandalkan gembala atau aktivis saja. Tanyakan kepada diri sendiri, adakah talenta, materi, tenaga, atau waktu yang masih bisa kita persembahkan untuk gereja?

Mari kita bersama-sama memajukan gereja tempat kita beribadah. Dukunglah pelayanan dengan mengisi pos-pos pelayanan yang ada, seperti: Sekolah Minggu, kelompok kecil, tim visitasi, tim doa, tim ibadah, ataupun kepanitiaan. Doakan, bersatu hati, dan bersandarlah pada janji penyertaan Tuhan, maka kemuliaan-Nya pasti akan menaungi gereja kita!

 

Penutup

Kita telah belajar bahwa kita tidak boleh patah semangat ketika menghadapi kesulitan dalam pelayanan karena Tuhan berjanji untuk senantiasa menyertai kita. Mari kita jadikan ini sebagai komitmen pelayanan kita. Seperti dalam pembuka tulisan ini, mungkin memang orang-orang yang tangguh dalam pelayanan memiliki AQ yang tinggi. Tetapi, AQ yang tinggi itu adalah hasil dari penyertaan Tuhan yang melingkupi hidup mereka. Demikian pula, Tuhan juga akan menyertai kita sehingga kita memiliki AQ yang tinggi. Bersandarlah selalu pada Tuhan Yesus karena seperti apa yang Dia katakan, “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh. 15:5). Amin. ]]> http://studibiblika.id/2019/08/08/khotbah-hag-2-jangan-menyerah-dalam-menghadapi-tantangan/feed/ 1 259 Apakah Melayani Tuhan Ada Upahnya? http://studibiblika.id/2019/06/21/upah-melayani-tuhan/ http://studibiblika.id/2019/06/21/upah-melayani-tuhan/#respond Fri, 21 Jun 2019 07:36:17 +0000 http://studibiblika.id/?p=106

sumber: invitebox.com

Banyak orang Kristen yang bertanya: “Apakah kita akan menerima upah karena melayani Tuhan? Bukankah di surga nanti kita bertemu Tuhan dan itu sudah cukup?”, “Apakah ada bedanya upah di surga antara orang Kristen yang giat melayani Tuhan dengan yang bermalas-malasan saja?” Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu dijawab supaya kita mampu menjalani kehidupan ini dengan perspektif yang benar.

Apakah Allah memberikan upah atas pelayanan kita?

Sebagaimana artinya pada masa kini, upah di dalam Alkitab pun berarti hasil dari perbuatan atau pekerjaan kita (“apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainyaGal. 6:7b). Kita harus membedakannya dengan anugerah/karunia, yaitu apa yang diberikan oleh Allah secara cuma-cuma atas dasar kasih-Nya kepada kita (“Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah” – Ef. 2:8; lihat juga Rm. 6:23b). Dari pengertian tersebut, terlihat bahwa upah bergantung pada usaha, sedangkan anugerah bergantung pada Sang Pemberi.

Melalui penebusan Kristus, Allah memberikan karunia kepada orang-orang percaya berupa hidup kekal. Namun selain itu, Allah juga memberikan upah atas jerih lelah dan juga pelayanan mereka selama hidup di dunia. Hal tersebut terlihat dari ayat-ayat berikut:

Kamu tahu, bahwa setiap orang, baik hamba, maupun orang merdeka, kalau ia telah berbuat sesuatu yang baik, ia akan menerima balasannya dari Tuhan. (Ef. 6:8)

23 Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. 24 Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya. (Kol. 3:23-24)

Sebab Anak Manusia akan datang dalam kemuliaan Bapa-Nya diiringi malaikat-malaikat-Nya; pada waktu itu Ia akan membalas setiap orang menurut perbuatannya. (Mat. 16:27)

Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa memberi kamu minum secangkir air oleh karena kamu adalah pengikut Kristus, ia tidak akan kehilangan upahnya. (Mrk. 9:41)

Masih banyak ayat lain yang berbicara mengenai upah. Jadi jelas, konsep tentang upah adalah alkitabiah. Namun demikian, Alkitab tidak menjelaskan upah yang akan kita terima seperti apa. Memang ada banyak penggambaran yang dinyatakan di dalam Alkitab. Misalnya, berbagai “mahkota” yang akan diterima oleh orang-orang percaya (1Kor. 9:25; 1Tes. 2:19; 2Tim. 4:8; Yak. 1:12; 1Ptr. 5:4; tentang “mahkota” ini pun ada banyak penafsiran). Kemudian, Alkitab juga banyak menggambarkan surga dengan penggambaran material yang indah-indah.

Tetapi, itu semua tidak dapat kita pastikan wujudnya. Kemungkinan besar, itu hanya gambaran bagi kita yang tinggal di dunia supaya sedikit memahami kemuliaan surga. Kita hanya akan tahu wujud upah yang sebenarnya hingga kita sampai ke surga (dan tidak akan berbentuk hal-hal yang berkaitan dengan dosa/hanya memuaskan nafsu kedagingan).

Siapakah yang akan menerima upah?

Apakah semua orang akan menerima upah dari Tuhan? Tidak. Hanya orang-orang yang telah dijadikan anak-anak-Nyalah yang nantinya akan menerima upah dari Tuhan.

Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada, dan bahwa Allah memberi upah kepada orang yang sungguh-sungguh mencari Dia (Ibr. 11:6)

Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya (Ef. 1:5)

Lalu bagaimana dengan perbuatan baik yang dilakukan oleh orang-orang di luar Kristus? Mereka tetap merasakan kebaikan Allah, namun terbatas hanya selama mereka hidup di dunia saja. Alkitab menyatakan bahwa Allah “menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar” (Mat. 5:45b). Jika mereka berbuat baik, maka bisa saja mereka menerima kebaikan dari orang lainnya. Contohnya, orang yang bekerja lebih sungguh-sungguh biasanya akan mendapatkan imbalan materi yang lebih besar. Tentu kita percaya ini semua ada dalam kendali Allah.

Kebaikan Allah yang dirasakan oleh manusia selama hidup di dunia ini juga bisa dirasakan oleh orang-orang percaya akibat dari pelayanan mereka yang baik. Misalnya, seorang pelayan Tuhan yang giat dan tulus, bisa mendapatkan kebaikan dari orang-orang yang dilayaninya. Paulus sendiri mengingatkan: “Penatua-penatua yang baik pimpinannya patut dihormati dua kali lipat, terutama mereka yang dengan jerih payah berkhotbah dan mengajar” (1Tim. 5:7). Tetapi ingat, hal-hal seperti itu hanyalah efek samping, jangan menjadi tujuan dalam melayani.

Apakah ada perbedaan upah di surga?

Lukisan Rembrandt (1637) tentang perumpamaan dalam Mat. 20:1-16 (sumber: Wikipedia)

Di dalam beberapa bagian Alkitab, tersirat bahwa orang-orang percaya akan menerima “upah” yang sama (seperti perumpamaan tentang para pekerja di kebun anggur, Mat. 20:1-16). Namun di dalam beberapa bagian lainnya (seperti perumpamaan tentang uang mina, Luk. 19:11-27), tersirat adanya perbedaan “upah” yang diterima oleh orang percaya. Ada juga ayat-ayat seperti:

Kemuliaan matahari lain dari pada kemuliaan bulan, dan kemuliaan bulan lain dari pada kemuliaan bintang-bintang, dan kemuliaan bintang yang satu berbeda dengan kemuliaan bintang yang lain. (1Kor. 15:41)

Jika Anda mengikuti perdebatan para ahli tentang topik ini, Anda pun akan melihat beragamnya pandangan yang ada. Namun di antara pandangan-pandangan tersebut, penjelasan yang diberikan oleh Millard J. Erickson ketika membahas isu-isu tentang surga dalam bukunya Christian Theology saya kira dapat menolong kita. Menurut Erickson, perbedaan upah di surga kemungkinan tidak terwujud secara objektif. Misalnya, luas adalah sesuatu yang bersifat objektif. Maka ruangan seluas 10×10 meter akan tetap sama ukurannya walaupun diukur oleh orang yang berbeda. Jika upah di surga terwujud secara objektif, maka masing-masing orang percaya akan diberi upah yang berbeda-beda.

Tetapi Erickson berpendapat, upah di surga akan terwujud secara subjektif (tergantung perspektif seseorang). Analoginya adalah orang-orang yang datang dalam sebuah konser musik klasik. Orang yang mengerti musik klasik tentu akan lebih menikmati konser tersebut dibanding orang awam. Padahal, semua orang di gedung konser itu menerima gelombang suara yang sama. Jika mengikuiti pemahaman ini, maka di surga semua orang percaya akan menerima bagian yang sama, tetapi akan dirasakan secara berbeda-beda. Orang yang selama hidupnya belajar untuk menikmati persekutuan dengan Tuhan akan merasakan sukacita yang lebih besar dibanding orang percaya lainnya.

Penjelasan Erickson, walaupun terlihat baik, tetaplah masih bersifat spekulasi. Namun satu hal yang jelas dinyatakan dalam Alkitab, di surga nanti “tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu” (Why. 21:4b). Oleh sebab itu, seandainya memang ada perbedaan-perbedaan upah yang diterima oleh masing-masing orang percaya (entah secara objektif ataupun subjektif), maka hal itu tidak akan menimbulkan penyesalan, iri hati, dan perasaan-perasaan negatif lainnya.

Di surga, kita akan merasa sukacita secara sempurna karena kita akan langsung berhadapan muka dengan Tuhan (Why. 22:4-5). Tidak ada sukacita lain yang lebih besar, termasuk “upah” yang telah kita bahas (kalau di surga kita bisa merasa kurang bersukacita, atau masih merasa ingin lebih bersukacita, bukankah berarti itu sukacita yang tidak sempurna?). Kita tidak akan merasa menyesal mengapa waktu di dunia kurang bersungguh-sungguh (kalau ada penyesalan seperti ini, masihkah surga terasa nikmat?). Kita juga tidak akan merasa iri melihat orang lain mendapatkan upah yang lebih besar (jelas, karena kita tidak mungkin berdosa di surga). Justru sukacita yang dialami orang percaya lainnya akan mejadi sukacita kita juga. Saya menganalogikan, jika anak kita menjadi menteri, apakah kita akan iri? Tentu tidak. Yang terjadi adalah, kita ikut merasa bangga atas segala jerih payah kita dalam membesarkannya. Kondisi seperti itu memang tidak mungkin bisa dibayangkan oleh kita yang masih tinggal di dunia.

Bagaimanakah sikap kita seharusnya?

Setelah mencermati uraian di atas, inilah pertanyaan yang terpenting. Apapaun yang terjadi nantinya, lakukanlah pelayanan dengan motivasi yang benar, yaitu untuk memuliakan Tuhan saja. Bagaimana wujud “upah” yang akan Dia berikan, itu mutlak terserah Tuhan. Jika kita melakukan pelayanan demi mendapatkan upah di surga yang lebih besar, apalagi yang kita bayangkan itu adalah kesenangan-kesenangan material sebagaimana yang kita nikmati di dunia, berarti motivasi pelayanan kita keliru. Pelayanan seperti itu tidak akan berkenan di hati Tuhan. Sudah bekerja keras, berharap memperoleh hasil yang besar, tetapi ternyata sia-sia. Alangkah tragisnya!

11 Karena tidak ada seorangpun yang dapat meletakkan dasar lain dari pada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus. 12 Entahkah orang membangun di atas dasar ini dengan emas, perak, batu permata, kayu, rumput kering atau jerami, 13 sekali kelak pekerjaan masing-masing orang akan nampak. Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan nampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu. 14 Jika pekerjaan yang dibangun seseorang tahan uji, ia akan mendapat upah. 15 Jika pekerjaannya terbakar, ia akan menderita kerugian, tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api. (1Kor. 3:11-15)

Selain itu, jangan ragu untuk berusaha mengenal Tuhan dan melayani-Nya habis-habisan! Buang jauh-jauh pikiran-pikiran negatif seperti: “kalau upahnya sama, untuk apa saya melayani Tuhan lebih giat?” Itu adalah pikiran yang berpusat pada diri sendiri dan bersifat kedagingan, bukan pikiran yang dituntun oleh Roh Kudus. Ubah pikiran kita menjadi seperti: “saya akan lebih giat melayani Tuhan, supaya Tuhan dimuliakan melalui hidup saya dan banyak orang akan terberkati.” Orang yang benar-benar telah lahir baru, semakin mengenal Tuhan akan semakin risau jika membuang kesempatan untuk melayani Tuhan. Rasul Paulus mendorong:

Karena itu, saudara-saudaraku yang kekasih, berdirilah teguh, jangan goyah, dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia. (1Kor. 15:58).

Terakhir, teruslah menyadari bahwa Kristus telah terlebih dulu memberikan nyawa-Nya bagi kita. Pemahaman akan fakta ini akan memberikan kekuatan dalam melayani Tuhan di tengah segala keadaan.

]]>
http://studibiblika.id/2019/06/21/upah-melayani-tuhan/feed/ 0 106