gereja | STUDIBIBLIKA.ID https://studibiblika.id Informasi Seputar Alkitab dan Dunia Pelayanan Kristen Sat, 13 Nov 2021 10:45:29 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=5.8.2 https://i1.wp.com/studibiblika.id/wp-content/uploads/2019/08/cropped-icon_512.png?fit=32%2C32&ssl=1 gereja | STUDIBIBLIKA.ID https://studibiblika.id 32 32 163375744 Masih Perlukah Ibadah Fisik di Zaman yang Serba Online? https://studibiblika.id/2021/11/13/masih-perlukah-ibadah-fisik-di-zaman-yang-serba-online/?utm_source=rss&utm_medium=rss&utm_campaign=masih-perlukah-ibadah-fisik-di-zaman-yang-serba-online https://studibiblika.id/2021/11/13/masih-perlukah-ibadah-fisik-di-zaman-yang-serba-online/#respond Sat, 13 Nov 2021 10:45:23 +0000 http://studibiblika.id/?p=1758 Kata orang, sekarang zaman digital. Mau apa-apa tinggal klik. Mulai dari pesan makanan, pesan tiket pesawat, bahkan buka

The post Masih Perlukah Ibadah Fisik di Zaman yang Serba Online? first appeared on STUDIBIBLIKA.ID.]]>
Kata orang, sekarang zaman digital. Mau apa-apa tinggal klik. Mulai dari pesan makanan, pesan tiket pesawat, bahkan buka rekening bank, semuanya serba online. Bahkan, bekerja pun bisa dilakukan secara remote. Praktis.

Rupanya, budaya serba online ini juga merambah ke gereja. Apalagi, sejak adanya pandemi Covid-19. Banyak gereja “dipaksa” untuk menyelenggarakan ibadahnya secara online.

Saya ingat, waktu awal-awal pandemi, banyak pro dan kontra terkait ibadah online ini. Tetapi lama-kelamaan, sudah menjadi hal yang lumrah. Orang juga semakin dimanjakan. Mau disetel jam berapapun bisa. Mau berpakaian model seperti apa, nggak akan ada yang melihat. Nggak perlu kena macet. Apalagi, hujan-hujanan.

Banyak orang yang tadinya risi dengan ibadah online, sekarang malah keenakan. Kalau kita bisa memuji Tuhan, mendengarkan khotbah, juga persembahan, dengan ibadah online, masih perlukah ibadah secara fisik?

Jika kita membaca Alkitab, memang pertemuan-pertemuan ibadah dilakukan secara fisik (misalnya, Kis. 2:46). Jelas, pada waktu itu kan belum ada teknologi Internet. Mungkin kita berpikir seperti itu. Di lain pihak, tidak ada ayat Alkitab yang dengan tegas melawan ibadah online.

Tetapi marilah kita melihat dua hal yang saya pikir bisa menjadi panduan bagi kita untuk merenungkan apakah pertemuan ibadah fisik penting untuk dilakukan.

Pertama, manusia adalah makhluk sosial yang memiliki fisik.

Ketika Allah menciptakan manusia pertama di Taman Eden, Dia tidak hanya memberikan roh, namun juga tubuh jasmaniah (Kej. 2:7). Selain memiliki pikiran, manusia juga memiliki otot, daging, tulang, dan sebagainya. Ada indra penglihatan, penengaran, penciuman, perasa, dan peraba.

Dengan tubuh jasmaniah ini pulalah, manusia berinteraksi dengan sesamanya. Seorang ibu mengekspresikan kasihnya kepada anaknya dengan menyusui dan menggendongnya. Seorang suami mengekspresikan cintanya dengan menggandeng tangan pasangannya. Jika ada teman yang sedih, tepukan di punggung bisa menyalurkan empati kita kepadanya.

Semua bentuk interaksi fisik seperti itu tidak akan mungkin tergantikan dengan interaksi secara online. Jika tidak percaya, tanyakan saja pada orang tua yang anak-cucunya ada di luar kota. Walaupun secara rutin bisa ngobrol lewat WA atau Zoom, rasanya belum sreg kalau belum ketemu secara fisik.

Seorang pria melakukan pertemuan secara online dengan kekasihnya (Photo by LinkedIn Sales Solutions on Unsplash)

Alkitab juga mengajarkan bahwa tubuh sama pentingnya dengan roh. Kita tidak hanya mempersembahkan hati dan pikiran kita kepada Tuhan. Tetapi, kita juga harus mempersembahkan tubuh kita untuk Tuhan (Rm. 12:1). Kita harus merawatnya baik-baik dan menjaga kekudusannya (1Kor. 6:13).

Kemudian Alkitab juga mengajarkan bahwa kelak Tuhan akan membangkitkan kita semua. Tetapi, itu bukan berarti kita akan berwujud roh yang melayang-layang. Itu rekaan manusia dan pandangan beberapa kepercayaan. Tetapi, jelas bukan pandangan yang alkitabiah.

Paulus menuliskan bahwa kelak kita akan memiliki tubuh rohani (1Kor. 15:42-44). Maksudnya, tubuh yang akan kita gunakan sepenuhnya untuk melayani Tuhan di surga. Di bagian lain Alkitab mengatakan kita akan memiliki tubuh yang serupa dengan tubuh yang dimiliki Yesus setelah Dia bangkit (Flp. 3:20-21).

Jika tubuh ini begitu penting. Bahkan, masih akan ada dalam kekekalan (dengan kualitas yang tidak dapat rusak), masihkah kita menganggap pertemuan ibadah secara fisik tidak penting lagi?

Kedua, Kristus adalah Allah yang berinkarnasi menjadi manusia

Bagi orang-orang yang menganggap kehadiran fisik dapat digantikan sepenuhnya secara online, mari kita melihat apa yang dilakukan Kristus. Sebagai Allah, Dia tidak hanya bertakhta di surga dan mengawasi segala tingkah laku manusia di bumi. Tetapi, Dia turun ke dalam dunia ciptaan-Nya, menjadi manusia sama seperti kita (Yoh. 1:14). Bedanya, Dia tidak berdosa.

Saya bukan orang yang membela Presiden Jokowi secara membabi-buta. Tetapi, ada satu teladan kepemimpinan yang beliau wujudkan. Sekarang ini, banyak orang di pelosok Indonesia yang merasa benar-benar diperhatikan. Bukan saja karena pembangunan telah menyentuh daerah mereka. Tetapi, Presiden Jokowi sendiri mau pergi mengunjungi mereka secara fisik.

Sebagai orang Kristen, kita tidak diminta untuk hanya meneladani tokoh-tokoh masyarakat seperti Presiden Jokowi. Tetapi, kita memiliki teladan pelayanan yang jauh lebih baik lagi, yaitu Kristus. Demi melayani orang-orang yang dikasihi-Nya, Dia memberikan tubuh fisik-Nya untuk bersentuhan dengan orang-orang berdosa, diludahi, dicambuk, bahkan sampai dipaku di salib. Seperti itulah kasih yang benar-benar peduli dengan sesama.

Lukisan karya Caravaggio yang menggambarkan Tomas, Si Peragu, menyentuh tubuh kebangkitan Kristus untuk mempercayai bahwa Dia benar-benar bangkit (sumber gambar: wikipedia.com)

Apa yang dilakukan Kristus itu bisa menjadi panduan bagi pelayanan gereja. Gereja tidak bisa benar-benar menjalankan pelayanannya tanpa mau hadir dalam kehidupan jemaatnya secara fisik.

Menyalurkan uang diakonia itu baik. Mendoakan orang yang sakit itu baik. Tetapi, gereja tidak akan maksimal pelayanannya kepada warganya tanpa mau terlibat secara fisik.

Seperti saya katakan di awal, manusia memiliki berbagai indra. Itu baru berfungsi maksimal jika kita hadir secara fisik. Kita bisa berdoa untuk “orang-orang kecil” seperti para pengemis dan pemulung di sekitar kita.

Tetapi, apakah kita mau bersentuhan dengan kulit mereka yang (maaf) dekil? Apakah kita juga mempersilakan mereka ketika mereka hadir di ibadah gereja kita dengan pakaian lusuh dan tubuh yang bau sampah?

Berdasarkan pemahaman tersebut, kita bisa memahami pentingnya ibadah fisik. Untuk kasus-kasus tertentu, seperti pada masa pandemi, orang yang sakit parah, orang yang tinggal di negara yang tertutup dengan Kekristenan, memang ibadah online merupakan pilihan yang baik. Tetapi kiranya jika memungkinkan, gereja tetap menyelenggarakan ibadah fisik sampai kapanpun. Karena dengan demikian, gereja dapat benar-benar maksimal menjadi berkat seperti teladan Kristus.

Marilah kita terus melakukannya (Ibr. 10:25), terutama di zaman akhir yang mendekat (2Tim. 3:1-4), ketika orang percaya semakin butuh dukungan sesamanya. Amin

REFLEKSI

Kehadiran fisik dari orang Kristen yang lain adalah sumber sukacita dan kekuatan bagi orang percaya (Dietrich Bonhoeffer)

PERTANYAAN-PERTANYAAN UNTUK DIRENUNGKAN

  1. Bagaimana tanggapan Anda tentang fenomena berdirinya gereja virtual (virtual church)? (artinya: gereja yang pelayanannya sepenuhnya dilakukan secara online).
  2. Pelajaran apa saja yang Anda petik selama mengikuti ibadah online?

REFERENSI AYAT ALKITAB

Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, (Kis. 2:46)

ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup. (Kej. 2:7)

Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. (Rm. 12:1)

Makanan adalah untuk perut dan perut untuk makanan: tetapi kedua-duanya akan dibinasakan Allah. Tetapi tubuh bukanlah untuk percabulan, melainkan untuk Tuhan, dan Tuhan untuk tubuh. (1Kor. 6:13)

42 Demikianlah pula halnya dengan kebangkitan orang mati. Ditaburkan dalam kebinasaan, dibangkitkan dalam ketidakbinasaan. 43 Ditaburkan dalam kehinaan, dibangkitkan dalam kemuliaan. Ditaburkan dalam kelemahan, dibangkitkan dalam kekuatan. 44 Yang ditaburkan adalah tubuh alamiah, yang dibangkitkan adalah tubuh rohaniah. Jika ada tubuh alamiah, maka ada pula tubuh rohaniah. (1Kor. 15:42-44)

20 Karena kewargaan kita adalah di dalam sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat, 21 yang akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia, menurut kuasa-Nya yang dapat menaklukkan segala sesuatu kepada diri-Nya. (Flp. 3:20-21)

Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran. (Yoh. 1:14)

Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat. (Ibr. 10:25)

1 Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar. 2 Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan menjadi pemfitnah, mereka akan berontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih, tidak mempedulikan agama, 3 tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak dapat mengekang diri, garang, tidak suka yang baik, 4 suka mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, lebih menuruti hawa nafsu dari pada menuruti Allah. (2Tim. 3:1-4)

The post Masih Perlukah Ibadah Fisik di Zaman yang Serba Online? first appeared on STUDIBIBLIKA.ID.]]>
https://studibiblika.id/2021/11/13/masih-perlukah-ibadah-fisik-di-zaman-yang-serba-online/feed/ 0 1758
Menjadi Gereja yang Mengutamakan Kristus (Kol. 1:15-23) https://studibiblika.id/2021/02/15/menjadi-gereja-yang-mengutamakan-kristus-kol-115-23/?utm_source=rss&utm_medium=rss&utm_campaign=menjadi-gereja-yang-mengutamakan-kristus-kol-115-23 https://studibiblika.id/2021/02/15/menjadi-gereja-yang-mengutamakan-kristus-kol-115-23/#respond Mon, 15 Feb 2021 12:37:25 +0000 http://studibiblika.id/?p=1226 Masihkah gereja relevan (penting/berguna) dalam dunia yang serba canggih seperti sekarang ini? Permasalahan hidup yang semakin kompleks dan kemajuan zaman membuat banyak orang tidak lagi memiliki gairah terhadap hal-hal rohani. Bagaimana gereja seharusnya menyikapinya?

The post Menjadi Gereja yang Mengutamakan Kristus (Kol. 1:15-23) first appeared on STUDIBIBLIKA.ID.]]>

15 Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan, 16 karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. 17 Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia. 18 Ialah kepala tubuh, yaitu jemaat. Ialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Ia yang lebih utama dalam segala sesuatu. 19 Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia, 20 dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus. 21 Juga kamu yang dahulu hidup jauh dari Allah dan yang memusuhi-Nya dalam hati dan pikiran seperti yang nyata dari perbuatanmu yang jahat, 22 sekarang diperdamaikan-Nya, di dalam tubuh jasmani Kristus oleh kematian-Nya, untuk menempatkan kamu kudus dan tak bercela dan tak bercacat di hadapan-Nya. 23 Sebab itu kamu harus bertekun dalam iman, tetap teguh dan tidak bergoncang, dan jangan mau digeser dari pengharapan Injil, yang telah kamu dengar dan yang telah dikabarkan di seluruh alam di bawah langit, dan yang aku ini, Paulus, telah menjadi pelayannya. (Kol. 1:15-23)

Masihkah gereja relevan (penting/berguna) dalam dunia yang serba canggih seperti sekarang ini? Permasalahan hidup yang semakin kompleks dan kemajuan zaman membuat banyak orang tidak lagi memiliki gairah terhadap hal-hal rohani. Di kalangan Kristen, gereja banyak kehilangan anggotanya, terutama dari kalangan anak muda (baca saja apa yang dialami gereja-gereja di Eropa dan gereja-gereja tradisional di Indonesia). Akibat perkembangan teknologi informasi, orang mudah bosan sehingga mudah pindah gereja.

            Situasi seperti ini memaksa gereja untuk berusaha tampil relevan dengan mengakomodasi keinginan orang banyak. Demi menjangkau banyak orang, gereja menampilkan dirinya semirip dan semenarik mungkin dengan dunia. Desain ruang ibadah, tata cara ibadah, serta khotbah-khotbahnya disesuaikan dengan apa yang sedang digemari orang. Tetapi, gereja justru akan kehilangan relevansinya ketika menjadi sama dengan organisasi/perkumpulan lainnya. Orang akan berpikir, “Jika di luar gereja saya bisa mendapatkan apa yang saya inginkan, dan malah lebih baik, mengapa harus datang ke gereja?”

            Tantangan-tantangan seperti ini mungkin memicu kita untuk menjawab pertanyaan, “Apa yang harus dilakukan oleh gereja untuk mengantisipasi perkembangan zaman?” Penelitian dan seminar seputar revitalisasi gereja (membuat gereja kembali bergairah) banyak dilakukan. Program-program baru pun banyak bermunculan. Tetapi untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita renungkan hal yang sangat mendasar, apa sih sebenarnya gereja itu dan apa keunikannya dibandingkan dengan organisasi/perkumpulan lainnya?

            Secara singkat, gereja adalah kumpulan orang-orang percaya dari sepanjang zaman yang telah ditebus oleh Kristus. Jadi, “gereja-gereja yang kelihatan,” maksudnya ada organisasinya sekarang ini seperti GBT, GKI, GKJ, HKBP, dan sebagainya, merupakan bagian kecil dari “gereja yang tidak kelihatan,” yaitu gereja yang terdiri dari orang-orang percaya dari sepanjang zaman. Kelak, semuanya akan dikumpulkan bersama Kristus di surga.

Di dalam Ef. 5:25 tertulis, “… Kristus mengasihi jemaat serta mengurbankan diri-Nya untuk jemaat itu.” Kemudian ketika berbicara dengan Petrus, Tuhan Yesus berkata, “di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya” (Mat. 16:18). Jadi, gereja ada karena Kristus mengurbankan diri-Nya untuk mendamaikan manusia dengan Allah, yang tadinya terpisah karena dosa. Kemudian, Kristus sendiri yang akan menjaga gereja-Nya dari segala ancaman, bahkan dari alam maut. Betapa istimewanya gereja! Inilah keunikan sekaligus keunggulan gereja, yang tidak dimiliki oleh organisasi/perkumpulan lainnya.

            Jadi, Kristus merupakan figur yang sangat penting dalam gereja. Pernyataan ini membantah pemikiran yang berusaha mengesampingkan Kristus dalam gereja. Banyak gereja yang berusaha membuat Kristus tidak mencolok supaya mereka bisa lebih diterima dunia. Misalnya, melakukan pelayanan sosial, tetapi tidak memberitakan Injil secara jelas. Menafsir ulang Alkitab demi mengakomodasi budaya yang lahir akibat dosa (seperti pernikahan sejenis). Atau, memasukkan topik-topik yang dirasa menarik, seperti filsafat, bisnis, psikologi, tetapi tidak mengarahkannya pada Kristus.

            Tantangan yang mirip pernah terjadi di jemaat Kolose. Ketika itu, ajaran-ajaran sesat masuk sehingga mereka tidak lagi beriman dengan benar. Ajaran-ajaran itu membuat mereka berpikir bahwa Kristus saja tidak cukup. Mereka harus melakukan ritual-ritual Yahudi (sunat, makanan, dan Sabat; 2:11, 16; 3:11), menyembah malaikat (2:18), pantang makan makanan tertentu (2:21), dan sebagainya. Mereka masih percaya Kristus, tetapi bukan lagi yang utama.

            Mendengar kabar tersebut, Paulus kemudian menulis surat untuk menguatkan jemaat Kolose supaya tetap teguh dan menumbuhkan kedewasaan iman mereka di dalam Kristus. Paulus menjelaskan bahwa “Dia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu” (ay. 17), “segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia” (ay. 16), dan “seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia” (ay. 19). Artinya, Dia berkuasa atas segala ciptaan.

            Tidak hanya berkuasa atas segala ciptaan, Kristus juga Kepala Gereja (ay. 18), yang mendamaikan manusia dengan Allah dan kebangkitan-Nya merupakan jaminan bahwa seluruh orang yang percaya kepada-Nya juga akan dibangkitkan. Kristus memiliki otoritas (wewenang) yang mutlak (Ef. 1:22) dan Dialah yang akan menopang kelangsungan gereja-Nya.

Implikasinya, hanya Kristus yang berhak untuk mengarahkan gereja mau seperti apa. Kita tidak berhak untuk membuat gereja kita lebih menarik banyak orang, lebih megah gedungnya, atau lebih punya nama jika itu tidak sesuai dengan apa yang Kristus inginkan di dalam Alkitab. Tugas kita adalah bagaimana membuat gereja kita menyenangkan hati Tuhan dengan berfungsi sebagaimana mestinya. Kristus harus diutamakan di dalam gereja.

Bagaimana caranya untuk menjadi gereja yang mengutamakan Kristus? Pertama, Kristus harus menjadi dasar ajaran gereja (1:27-28). Jangan khawatir “kalah saing” dengan ajaran-ajaran dunia, karena Injil Kristus adalah Kabar Baik yang tidak bisa ditawarkan oleh dunia (2:3). Yohanes Calvin mengatakan bahwa di mana firman Tuhan diberitakan dan diperhatikan dengan benar, maka di situ ada gereja yang benar, walaupun penuh kekurangan.

Kedua, Kristus harus menjadi dasar pelayanan gereja (1:9-10). Apa dan bagaimana pelayanan yang dilakukan oleh Kristus selama hidup di dunia, itulah yang harus dilakukan oleh gereja (kecuali menebus dosa). Jangan mengatur pelayanan gereja sesuai selera “orang kuat” di gereja, suara mayoritas, atau tekanan lingkungan kalau tidak sesuai dengan firman Tuhan. Jangan merasa telah memberi banyak untuk gereja, jangan merasa pintar, atau merasa paling rohani. Di dalam gerja, kita berhadapan dengan Kristus, pribadi yang Mahamemiliki, Mahamengetahui, dan Mahakudus.

Ketiga, Kristus harus menjadi dasar persekutuan gereja (3:11). Di dalam gereja, tidak ada pembedaan ras, status sosial, tingkat pendidikan karena semuanya telah dipersatukan oleh Kristus. Persekutuan di gereja harus mendekatkan orang kepada Kristus, sehingga ada damai sejahtera (3:15).

Ada sebuah pujian menggambarkan gereja bagaikan bahtera yang menempuh badai (“Gereja Bagai Bahtera” NKB 111). Jika Kristus yang menjadi nakhoda, dan para awak kapal bekerja sama berdasarkan arahan Sang Nakhoda, maka bahtera tersebut akan sampai di tujuan. Tetapi jika tidak, maka bahtera tersebut pasti akan karam di tengah jalan. Amin.

Relakah gereja kita kandas di tengah badai? (Photo by Stephen Leonardi on Unsplash)

NKB. 111 – Gereja Bagai Bahtera

1. Gereja bagai bahtera di laut yang seram

mengarahkan haluannya ke pantai seberang.

Mengamuklah samudera dan badai menderu;

gelombang zaman menghempas, yang sulit ditempuh.

Penumpang pun bertanyalah selagi berjerih:

Betapa jauh, dimanakah labuhan abadi?

Reff.

Tuhan, tolonglah! Tuhan, tolonglah!

Tanpa Dikau semua binasa kelak.

Ya Tuhan tolonglah!

2. Gereja bagai bahtera pun suka berhenti,

tak menempuh samudera, tak ingin berjerih

dan hanya masa jayanya selalu dikenang,

tak ingat akan dunia yang hampir tenggelam!

Gereja yang tak bertekun di dalam tugasnya,

tentunya oleh Tuhan pun tak diberi berkah.

3. Gereja bagai bahtera diatur awaknya,

setiap orang bekerja menurut tugasnya.

Semua satu padulah, setia bertekun,

demi tujuan tunggalnya yang harus ditempuh.

Roh Allah yang menyatukan, membina, membentuk

di dalam kasih dan iman dan harap yang teguh.

4. Gereja bagai bahtera muatannya penuh,

beraneka manusia yang suka mengeluh,

yang hanya ikut maunya, mengritik dan sok tahu

sehingga bandar tujuan menjadi makin jauh.

Tetapi bila umatNya sedia mendengar,

tentulah Tuhan memberi petunjuk yang benar.

5. Gereja bagai bahtera di laut yang seram,

mengarahkan haluannya ke pantai seberang.

Hai ‘kau yang takut dan resah, ‘kau tak sendirian;

teman sejalan banyaklah dan Tuhan di depan!

Bersama-sama majulah, bertahan berteguh;

tujuan akhir adalah labuhan Tuhanmu!

Pertanyaan untuk Direnungkan

1.         Bagaimana tanggapan Anda dengan adanya gereja maupun pengkhotbah yang tidak mengutamakan Kristus namun terlihat maju pelayanannya?

2.         Apa saja hal-hal yang perlu dikoreksi dalam gereja maupun pelayanan kita masing-masing untuk lebih mengutamakan Kristus?

The post Menjadi Gereja yang Mengutamakan Kristus (Kol. 1:15-23) first appeared on STUDIBIBLIKA.ID.]]>
https://studibiblika.id/2021/02/15/menjadi-gereja-yang-mengutamakan-kristus-kol-115-23/feed/ 0 1226
Jangan Menyerah dalam Menghadapi Tantangan Pelayanan (Hag. 2:1-10) https://studibiblika.id/2019/08/08/khotbah-hag-2-jangan-menyerah-dalam-menghadapi-tantangan/?utm_source=rss&utm_medium=rss&utm_campaign=khotbah-hag-2-jangan-menyerah-dalam-menghadapi-tantangan https://studibiblika.id/2019/08/08/khotbah-hag-2-jangan-menyerah-dalam-menghadapi-tantangan/#comments Thu, 08 Aug 2019 23:01:27 +0000 http://studibiblika.id/?p=259 1 Pada hari yang kedua puluh empat dalam bulan yang keenam. Pada tahun yang kedua zaman raja Darius,

The post Jangan Menyerah dalam Menghadapi Tantangan Pelayanan (Hag. 2:1-10) first appeared on STUDIBIBLIKA.ID.]]>
1 Pada hari yang kedua puluh empat dalam bulan yang keenam. Pada tahun yang kedua zaman raja Darius, 2 dalam bulan yang ketujuh, pada tanggal dua puluh satu bulan itu, datanglah firman TUHAN dengan perantaraan nabi Hagai, bunyinya: 3 “Katakanlah kepada Zerubabel bin Sealtiel, bupati Yehuda, dan kepada Yosua bin Yozadak, imam besar, dan kepada selebihnya dari bangsa itu, demikian: Masih adakah di antara kamu yang telah melihat Rumah ini dalam kemegahannya semula? Dan bagaimanakah kamu lihat keadaannya sekarang? Bukankah keadaannya di matamu seperti tidak ada artinya? 5 Tetapi sekarang, kuatkanlah hatimu, hai Zerubabel, demikianlah firman TUHAN; kuatkanlah hatimu, hai Yosua bin Yozadak, imam besar; kuatkanlah hatimu, hai segala rakyat negeri, demikianlah firman TUHAN; bekerjalah, sebab Aku ini menyertai kamu, demikianlah firman TUHAN semesta alam, 6 sesuai dengan janji yang telah Kuikat dengan kamu pada waktu kamu keluar dari Mesir. Dan Roh-Ku tetap tinggal di tengah-tengahmu. Janganlah takut! 7 Sebab beginilah firman TUHAN semesta alam: Sedikit waktu lagi maka Aku akan menggoncangkan langit dan bumi, laut dan darat; 8 Aku akan menggoncangkan segala bangsa, sehingga barang yang indah-indah kepunyaan segala bangsa datang mengalir, maka Aku akan memenuhi Rumah ini dengan kemegahan, firman TUHAN semesta alam. 9 Kepunyaan-Kulah perak dan kepunyaan-Kulah emas, demikianlah firman TUHAN semesta alam. 10  Adapun Rumah ini, kemegahannya yang kemudian akan melebihi kemegahannya yang semula, firman TUHAN semesta alam, dan di tempat ini Aku akan memberi damai sejahtera, demikianlah firman TUHAN semesta alam.”

(Hag. 2:1-10)

 

Pendahuluan

Sumber: griyabuku.co.id

Pada tahun 1997 Paul G. Stoltz menerbitkan sebuah buku yang sangat populer berjudul Adversity Quotient. Di dalam buku ini, Stoltz menjelaskan bahwa selain IQ (Intelligence Quotient/kecerdasan pikiran) dan EQ (Emotional Quotient/kecerdasan emosi), ada satu lagi kecerdasan yang dibutuhkan oleh seseorang dalam meraih sukses, yaitu AQ. AQ (Adversity Quotient) mengukur ketahanan seseorang terhadap rintangan yang dihadapi dan menggunakan seluruh kemampuannya untuk mengatasinya. Menurut Stoltz, inilah yang sebenarnya menjadi penentu kesuksesan. Orang yang memiliki bakat, modal, dan kecerdasan namun EQ-nya rendah tidak akan berhasil.

Karena itu, kita sering mendengar kisah orang-orang yang terlahir di tengah kesulitan, tetapi karena ulet dan pantang menyerah, akhirnya mereka bisa sukses. Misalnya, siapa sih yang tidak kenal Dahlan Iskan? Sebagai pemilik Grup Jawa Pos, mantan dirut PLN, dan mantan menteri BUMN, kita tidak akan meragukan kesuksesannya. Padahal, dia terlahir di tengah keluarga yang sangat miskin. Saking miskinnya, orang tuanya sampai tidak mampu membelikan dia sepatu. Namun karena tekadnya yang kuat, akhirnya Dahlan Iskan bisa meraih kesuksesan.

Demikian pula dalam dunia pelayanan. Dunia tidak kekurangan tokoh-tokoh iman yang bertahan hingga akhir pelayanannya, seperti Hudson Taylor (misionaris ke Tiongkok), Billy Graham (pengkhotbah KKR), atau Pdt. Bigman Sirait yang baru meninggal Juni lalu.

Melihat kisah hidup mereka, mungkin kita berpikir, AQ mereka pasti tinggi, sehingga bisa melayani begitu luas dan bertahan sampai akhir. Kalau yang AQ-nya biasa-bisa saja bagaimana? Apalagi, jika tantangan pelayanan begitu berat. Wajarkah kalau seorang Kristen undur ketika menghadapi tantangan pelayanan yang berat? Menurut Hag. 2:1-10, kita tidak boleh patah semangat ketika menghadapi kesulitan dalam pelayanan karena Tuhan berjanji untuk senantiasa menyertai kita.

 

1. Kesulitan yang Dihadapi dalam Pelayanan Bisa Membuat Patah Semangat

Siapakah Hagai? Dia adalah nabi Tuhan yang diutus kepada orang-orang Yahudi setelah mereka kembali ke Yehuda dari pembuangan di Babel. Ingat bahwa sepeninggal Salomo, Israel terpecah menjadi dua, yaitu kerajaan Israel di utara dan kerajaan Yehuda di selatan. Israel kemudian dihancurkan oleh Asyur pada tahun 722 SM, sedangkan Yehuda dihancurkan oleh Babel pada tahun 587 SM. Pada waktu Babel menghancurkan ibukota Yehuda (Yerusalem), bait suci yang menjadi kebanggaan orang Yahudi juga ikut dihancurkan. Tidak hanya itu, Babel juga membawa orang-orang Yahudi untuk menjadi orang buangan di negaranya, beberapa orang di antaranya ialah: Daniel, Sadrakh, Mesakh, dan Abednego.

Singkat cerita, Babel ditaklukkan oleh bangsa yang lebih kuat lagi, yaitu Persia. Kemudian pada tahun 538 SM, Tuhan menggerakkan hati raja Koresh, raja Persia waktu itu, untuk mengizinkan orang-orang Yehuda kembali ke Yerusalem. Mereka dipimpin oleh bupati Zerubabel dan imam besar Yosua. Pada waktu “pulang kampung,” mereka melihat Yerusalem sudah hancur dan mereka harus bekerja keras untuk membangunnya kembali. Selain itu, mereka juga mulai meletakkan fondasi bait suci.

Namun demikian, sekelompok orang menentang pembangunan itu dan menakut-nakuti penduduk Yehuda, karena mereka tidak ingin Yehuda menjadi bangsa yang kuat kembali. Bayangkan betapa beratnya tekanan fisik dan mental yang dihadapi oleh orang-orang Yehuda saat itu! Oleh sebab itu, selama 15 tahun tidak ada kemajuan dalam pembangunan bait suci. Semua peristiwa ini tercatat dalam Ezra pasal 1-4.

Akhirnya, setelah Raja Koresh digantikan oleh Raja Darius, Tuhan mengutus nabi Hagai untuk mengingatkan kembali bahwa membangun bait suci harus menjadi prioritas orang-orang Yehuda. Di dalam Hag. 1:14 dituliskan, “TUHAN menggerakkan semangat Zerubabel bin Sealtiel, bupati Yehuda, dan semangat Yosua bin Yozadak, imam besar, dan semangat selebihnya dari bangsa itu, maka datanglah mereka, lalu melakukan pekerjaan pembangunan rumah TUHAN semesta alam, Allah mereka.” Pemimpin pemerintahan, pemimpin agama, dan seluruh bangsa, semuanya digerakkan oleh Tuhan untuk membangun bait suci. Pelayanan di dalam gereja juga harus seperti ini. Jangan seperti suporter sepak bola. Yang bermain cuma sebelas orang, tetapi yang menonton dan berkomentar puluhan ribu orang (belum termasuk yang berkomentar di medsos).

Pada saat pengerjaan fondasi selesai, “seluruh umat bersorak-sorai dengan nyaring sambil memuji-muji Tuhan” (Ezr. 3:11), karena selama berada di pembuangan mereka sangat merindukan bait suci. Namun demikian, di dalam Ezr. 3:12 tercatat, “Tetapi banyak di antara para imam, orang-orang Lewi dan kepala-kepala kaum keluarga, orang tua-tua yang pernah melihat rumah yang dahulu, menangis dengan suara nyaring, ketika perletakan dasar rumah ini dilakukan di depan mata mereka, sedang banyak orang bersorak-sorai dengan suara nyaring karena kegirangan.” Generasi muda, yang lahir pada masa pembuangan dan belum pernah tahu bait suci itu seperti apa, sangat senang. Tetapi generasi tua, yang pernah melihat sendiri kemegahan bait suci, menangis.

Pada waktu membangun bait suci yang pertama, Salomo mampu mempekerjakan orang-orang terbaik dan mendapatkan material yang bermutu sehingga bait sucinya dibangun dengan megah. Tetapi pada waktu membangun bait suci yang kedua ini, bangsa Yehuda hidup dalam kondisi yang serba terbatas: kekurangan hasil panen, makanan, serta uang (Hag. 1:1-6). Karena itu, perhiasan dan perabotan yang nantinya ada di dalam bait suci yang baru ini tidak mungkin bisa menyamai apa yang pernah ada di dalam bait suci Salomo. Bukan hanya itu, benda-benda sakral yang dulu ada di dalam bait suci Salomo, seperti tabut perjanjian, tidak mungkin ada. Semua itu membuat tua-tua Yehuda patah semangat.

Melihat kondisi itu, Tuhan kemudian berfirman: “Masih adakah di antara kamu yang telah melihat Rumah ini dalam kemegahannya semula? Dan bagaimanakah kamu lihat keadaannya sekarang? Bukankah keadaannya di matamu seperti tidak ada artinya?” (Hag. 2:4). Ketika generasi berganti lalu menghadapi kesulitan, mereka patah semangat. Para pelayan Tuhan masa kini yang terlalu fokus pada kesulitan pun pasti akan kecewa dan patah semangat, seperti halnya tua-tua Yehuda itu.

Gambar bernada satir seperti ini sempat viral pada beberapa Pilpres yang lalu (sumber gambar: tribunnews.com)

Di dalam kehidupan gereja, fenomena yang sama biasa ditemui. Ketika berganti kepemimpinan, ada sebagian jemaat yang membanding-bandingkannya dengan pendahulu mereka.  Saya teringat dengan orang-orang yang memasang gambar Pak Harto yang sedang tersenyum sambil berkata: “Piye kabare, Le? Isih penak jamanku to? (Bagaimana kabarnya, Nak? Masih enak zaman saya kan?).”

Hal seperti ini pun dialami oleh tokoh-tokoh Alkitab. Misalnya, setelah dengan gagah berani melawan nabi-nabi Baal, Elia diancam akan dibunuh oleh Izebel. Dia kemudian melarikan diri dan sempat mengalami putus asa sampai “ingin mati” (1Raj. 19:4). “Mengapa setelah melayani Tuhan, nyawaku malah terancam?”, begitu mungkin pikir Elia. Kemudian, setelah Tuhan Yesus disalib, murid-murid guncang dan ingin kembali melakukan pekerjaan lamanya. “Aku pergi menangkap ikan” (Yoh. 21:3), kata Simon Petrus, yang kemudian diikuti oleh murid-murid lainnya. Mereka patah semangat karena beratnya beban pelayanan dan hasilnya pun tidak sesuai dengan apa yang mereka bayangkan.

Sampai saat ini, pergumulan yang sama masih terus terjadi di antara para pelayan Tuhan. Contohnya, pada pertengahan September 2015, seorang pendeta di Amerika Serikat, Pete Wilson, mengundurkan diri dari gereja yang didirikannya bersama isterinya sejak tahun 2003, Cross Point. Padahal, ibadah-ibadah di Cross Point sudah dihadiri oleh sekitar 7000 orang, dan dilangsungkan di lima lokasi. Bahkan gereja ini disebut sebagai salah satu gereja yang paling cepat pertumbuhannya di Amerika Serikat.

Pete Wilson bersama keluarganya. Istrinya mengajukan cerai setelah pengunduran dirinya (sumber gambar: urbanchristiannews.com)

Pengunduran diri itu disampaikan Pete pada ibadah minggu tanggal 11 September 2016. Dia berkata di hadapan jemaatnya: “Saya lelah. Saya hancur. Saya memerlukan istirahat. Saya mengasihi Anda semua.” Tidak ada penjelasan detail mengapa dia mundur. Berbagai media menyimpulkan bahwa Pete Wilson mengalami burn-out, suatu kondisi kelelahan fisik dan mental akibat terlalu banyaknya pekerjaan dan tekanan yang dihadapi seseorang.

Beban pelayanan yang berat bisa membuat orang sekaliber Pete Wilson patah semangat dan mundur dari pelayanan. Kalau hal seperti ini bisa terjadi pada orang yang pelayanannya terlihat sangat sukses, apalagi kita yang pelayanannya tampak biasa-biasa saja. Banyak hal yang bisa menggoyahkan pelayanan kita. Sudah melakukan pelayanan dengan sungguh-sungguh, tetapi masih saja dianggap kurang. Kemudian, gesekan dengan sesama rekan pelayanan pun tidak jarang kita alami. Belum lagi, adanya pengkhianatan, gosip yang tidak benar, dan bahkan ancaman, bisa saja ada di dalam pelayanan. Hal-hal semacam ini dapat melemahkan semangat kita dan bahkan bisa membuat kita mundur dari pelayanan. Bagaimana kita mengatasinya?

 

2. Kita Bisa Terus Maju Menghadapi Rintangan dalam Pelayanan karena Tuhan Berjanji untuk Senantiasa Menyertai Kita

Tadi sudah dijelaskan bahwa Tuhan memahami keadaan bangsa Yehuda yang patah semangat karena hasil pelayanan yang tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Tetapi bukan berarti keadaan seperti itu boleh membuat mereka mundur dalam pelayanan. Tuhan berfirman: “Tetapi sekarang, kuatkanlah hatimu, hai Zerubabel, demikianlah firman TUHAN; kuatkanlah hatimu, hai Yosua bin Yozadak, imam besar; kuatkanlah hatimu, hai segala rakyat negeri, demikianlah firman TUHAN; bekerjalah, sebab Aku ini menyertai kamu, demikianlah firman TUHAN semesta alam, sesuai dengan janji yang telah Kuikat dengan kamu pada waktu kamu keluar dari Mesir. Dan Roh-Ku tetap tinggal di tengah-tengahmu. Janganlah takut!” (Hag. 2:5-6).

Seluruh bangsa Yehuda, dari pemimpin hingga rakyatnya, diperintahkan untuk menguatkan hati. Jangan mundur dalam pelayanan. Mereka diperintahkan untuk terus bekerja karena Tuhan akan menyertai mereka. Inilah yang menjadi dasar bagi bangsa Yehuda untuk tidak patah semangat dan terus maju. Jika Tuhan yang mahakuasa, sang pemilik pelayanan, berjanji untuk menyertai mereka, apa lagi yang perlu dikhawatirkan? Dukungan seperti apa lagi yang mereka perlukan?

Melalui firman-Nya tersebut, Tuhan kembali menguatkan janji yang telah diberikan-Nya kepada nenek moyang mereka pada zaman Musa: “Aku akan diam di tengah-tengah orang Israel dan Aku akan menjadi Allah mereka. Maka mereka akan mengetahui, bahwa Akulah, TUHAN, Allah mereka, yang telah membawa mereka keluar dari tanah Mesir, supaya Aku diam di tengah-tengah mereka; Akulah TUHAN, Allah mereka” (Kel. 29:45-46). Zerubabel, Yosua, dan seluruh orang Yehuda diingatkan kembali akan kesetiaan Tuhan pada waktu menyertai nenek moyang mereka keluar dari Mesir.

Kemudian kalau kita perhatikan ayat 5b dan 6, di situ Tuhan tidak hanya berkata, “Aku ini menyertai kamu,” tetapi juga “Roh-Ku tetap tinggal di tengah-tengahmu.” Ini menunjukkan adanya tindakan yang terus-menerus dari Tuhan, dari dulu sampai sekarang. Artinya, penyertaan Tuhan yang dirasakan oleh nenek moyang bangsa Israel juga akan terus dirasakan oleh keturunan mereka pada zaman Zerubabel dan imam besar Yosua. Inilah yang menjadi dasar kekuatan bagi setiap para pelayan Tuhan, dan bukannya kekuatan duniawi.

Karena itu, Tuhan juga menegaskan bahwa kekhawatiran tua-tua Yehuda karena kekurangan material tidak beralasan. “Sebab beginilah firman TUHAN semesta alam: Sedikit waktu lagi maka Aku akan menggoncangkan langit dan bumi, laut dan darat; Aku akan menggoncangkan segala bangsa, sehingga barang yang indah-indah kepunyaan segala bangsa datang mengalir, maka Aku akan memenuhi Rumah ini dengan kemegahan, firman TUHAN semesta alam. Kepunyaan-Kulah perak dan kepunyaan-Kulah emas, demikianlah firman TUHAN semesta alam” (Hag. 2:7-9). Walaupun saat itu bangsa Yehuda tidak memiliki sumber daya yang melimpah seperti pada zaman Salomo, tetapi Tuhan tidak pernah kekurangan. Tuhan tidak perlu bergantung kepada apa pun atau siapa pun karena Dialah pemilik alam semesta, yang sanggup menyediakan sumber daya apapun yang dibutuhkan dalam pelayanan. Suatu saat, demikian nubuat Hagai, kemuliaan bait suci Zerubabel ini akan melebihi kemuliaan bait suci Salomo.

Ratusan tahun kemudian, tepatnya pada zaman Tuhan Yesus, nubuat itu akhirnya digenapi pada saat raja Herodes merenovasi bait suci secara besar-besaran untuk mengambil hati orang-orang Yahudi. Bait suci itu menjadi bangunan yang luar biasa megah. Buktinya, “Ketika Yesus keluar dari Bait Allah, seorang murid-Nya berkata kepada-Nya: ‘Guru, lihatlah betapa kokohnya batu-batu itu dan betapa megahnya gedung-gedung itu!’” (Mrk. 13:1).

Tetapi, puncak kemegahan bait suci bukanlah terletak pada bangunannya, namun pada kemuliaan Allah yang hadir di dalamnya. Tuhan Yesus berkata: “Aku berkata kepadamu: Di sini ada yang melebihi Bait Allah” (Mat. 12:6). Apa yang dijanjikan Allah melalui nabi Hagai akhirnya digenapi dengan kehadiran Kristus di dalam bait suci, dan ini yang membuat kemuliaan bait suci Zerubabel melebihi kemuliaan bait suci Salomo. Dan kemuliaan tersebut baru akan kita lihat puncaknya di surga, “Dan aku tidak melihat Bait Suci di dalamnya; sebab Allah, Tuhan Yang Mahakuasa, adalah Bait Sucinya, demikian juga Anak Domba itu. Dan kota itu tidak memerlukan matahari dan bulan untuk menyinarinya, sebab kemuliaan Allah meneranginya dan Anak Domba itu adalah lampunya” (Why. 21:22-23).

Dari sini kita melihat bahwa kegegalan tua-tua Yehuda terjadi karena mereka hanya mengukur hasil pelayanan dari apa yang mereka lihat saja. Padahal, bait suci hanyalah tempat dan lambang kehadiran Allah di tengah-tengah orang Israel. Yang penting bukan fisik bait sucinya, tetapi kehadiran Allah sendiri, yang menjadikan bait suci penuh dengan kemuliaan. Karena itu, walaupun bait suci yang telah direnovasi Herodes ini kembali dihancurkan oleh kekaisaran Romawi pada tahun 70, dan sampai sekarang tidak dibangun kembali, kita sebagai orang percaya yakin bahwa penyertaan Tuhan masih terus kita rasakan karena Tuhan Yesus telah berjanji, “Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” (Mat. 28:20b).

Fokus pada janji penyertaan Tuhan akan membuat kita menjadi pelayan Tuhan yang tidak mudah menyerah dalam mengerjakan pelayanan sesulit apapun. Belajar seperti Oswald Chambers, pengarang buku renungan, “My Utmost for His Highest,” yang berkata: “Kita harus berdoa dengan mata memandang pada Tuhan dan bukannya pada masalah.” Apa yang terjadi dengan orang-orang yang melakukan hal itu? Saya akan menceritakan satu contoh kasus.

Hudson Taylor (sumber gambar: omf.org)

Hudson Taylor adalah seorang misionaris yang melayani di daratan Tiongkok pada abad ke-19. Dia merintis lembaga misi yang sekarang bernama OMF International. Salah satu moto pelayanannya adalah: “Pekerjaan Allah, yang dikerjakan sesuai dengan cara Allah, tidak akan kekurangan dukungan Allah.” Dukungan Allah yang dimaksud Hudson Taylor di sini adalah dukungan dalam bentuk apapun, baik itu uang, kesehatan, iman, damai sejahtera, ataupun kekuatan. Dia membuktikan sendiri kebenaran motonya ini sepanjang pelayanan misinya.

Di Tiongkok, dua orang anak dan isteri pertamanya meninggal. Dia terkena hepatitis dan sejak saat itu kesehatannya terus memburuk. Lembaga misinya pernah kehabisan uang. Dia mengakui, pelayanan seorang misionaris berat, monoton, dan seringkali terlihat jauh dari kesuksesan. Tetapi dengan mengandalkan Tuhan melalui doa, pelayanannya bisa terus maju. Ada saja cara Tuhan untuk membuatnya tetap bertahan dalam pelayanan hingga sepanjang 51 tahun pelayanannya, dia mendatangkan 800 misionaris, mendirikan 125 sekolah, dan mempertobatkan 18000 orang di Tiongkok dan OMF International masih terus melayani sampai sekarang.

Dari sini kita dapat melihat bahwa rintangan pelayanan bisa sangat berat, dan Tuhan memahaminya. Sebagai teladan pelayanan terbesar sepanjang masa, Tuhan Yesus tahu betul segala pergumulan yang mungkin dihadapi oleh para pelayan Tuhan. Karena itu, ketika kita bersandar pada janji penyertaan Tuhan, maka Dia akan memampukan kita untuk dapat menyelesaikan pelayanan karena jauh di atas pikiran kita, Dia mempunyai rancangan yang indah untuk pelayanan kita itu.

Pada waktu kita menghadapi rintangan dalam pelayanan, apa yang kita lakukan? Kecewa? Putus asa? Atau bahkan mundur? Jika pelayanan kita mengendur pada saat menghadapi kesulitan, berarti ada yang keliru dengan cara pandang kita. Mungkin kita berpikir, “saya yang bekerja paling keras,” atau “saya yang mendukung paling banyak,” maka “harus berjalan sesuai dengan keinginan saya.” Atau kita merasa aman karena ada orang-orang kuat dan bertalenta yang mendukung pelayanan kita. Padahal, pelayanan adalah milik Tuhan. Dialah yang memulai, Dialah yang akan mencukupi kebutuhannya, dan Dialah yang menentukan standar kesuksesannya.

Karena itu, gereja bisa ditinggalkan orang-orang kunci yang biasanya mendukung pelayanan, entah itu gembala, majelis, atau aktivis. Bahkan, gedung gereja bisa ditutup atau dibakar. Tetapi, apakah semua itu bisa menjadikan pelayanan gereja terhenti? Tidak. Rencana Tuhan tidak bergantung pada kondisi-kondisi yang ada di dunia. Tuhan tidak pernah kehabisan solusi. Asalkan pemimpin dan seluruh jemaatnya bersandar pada janji penyertaan Tuhan, maka gereja akan tetap berdiri sampai kapanpun karena ada rencana Tuhan di dalamnya.

Masalahnya, apakah kita semua telah benar-benar bersandar pada janji penyertaan Tuhan ini? Periksa apakah kita secara rutin mendoakan gereja kita? Apakah semangat kita masih bergantung kepada orang lain? Di dalam perikop ini, Tuhan menggerakkan para pemimpin beserta seluruh rakyat untuk bekerja. Artinya, kita semua diberi tanggung-jawab oleh Tuhan. Jangan mengandalkan gembala atau aktivis saja. Tanyakan kepada diri sendiri, adakah talenta, materi, tenaga, atau waktu yang masih bisa kita persembahkan untuk gereja?

Mari kita bersama-sama memajukan gereja tempat kita beribadah. Dukunglah pelayanan dengan mengisi pos-pos pelayanan yang ada, seperti: Sekolah Minggu, kelompok kecil, tim visitasi, tim doa, tim ibadah, ataupun kepanitiaan. Doakan, bersatu hati, dan bersandarlah pada janji penyertaan Tuhan, maka kemuliaan-Nya pasti akan menaungi gereja kita!

 

Penutup

Kita telah belajar bahwa kita tidak boleh patah semangat ketika menghadapi kesulitan dalam pelayanan karena Tuhan berjanji untuk senantiasa menyertai kita. Mari kita jadikan ini sebagai komitmen pelayanan kita. Seperti dalam pembuka tulisan ini, mungkin memang orang-orang yang tangguh dalam pelayanan memiliki AQ yang tinggi. Tetapi, AQ yang tinggi itu adalah hasil dari penyertaan Tuhan yang melingkupi hidup mereka. Demikian pula, Tuhan juga akan menyertai kita sehingga kita memiliki AQ yang tinggi. Bersandarlah selalu pada Tuhan Yesus karena seperti apa yang Dia katakan, “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (Yoh. 15:5). Amin.

The post Jangan Menyerah dalam Menghadapi Tantangan Pelayanan (Hag. 2:1-10) first appeared on STUDIBIBLIKA.ID.]]>
https://studibiblika.id/2019/08/08/khotbah-hag-2-jangan-menyerah-dalam-menghadapi-tantangan/feed/ 1 259
Mukjizat Menangkap Ikan (Yoh. 21:1-14) https://studibiblika.id/2019/05/17/tafsiran-yohanes-211-14/?utm_source=rss&utm_medium=rss&utm_campaign=tafsiran-yohanes-211-14 https://studibiblika.id/2019/05/17/tafsiran-yohanes-211-14/#respond Fri, 17 May 2019 01:13:31 +0000 http://studibiblika.id/?p=41 Versi Terjemahan Baru LAI: 1 Kemudian Yesus menampakkan diri lagi kepada murid-murid-Nya di pantai danau Tiberias dan Ia

The post Mukjizat Menangkap Ikan (Yoh. 21:1-14) first appeared on STUDIBIBLIKA.ID.]]>
Versi Terjemahan Baru LAI:

1 Kemudian Yesus menampakkan diri lagi kepada murid-murid-Nya di pantai danau Tiberias dan Ia menampakkan diri sebagai berikut. 2 Di pantai itu berkumpul Simon Petrus, Tomas yang disebut Didimus, Natanael dari Kana yang di Galilea, anak-anak Zebedeus dan dua orang murid-Nya yang lain. 3 Kata Simon Petrus kepada mereka: “Aku pergi menangkap ikan.” Kata mereka kepadanya: “Kami pergi juga dengan engkau.” Mereka berangkat lalu naik ke perahu, tetapi malam itu mereka tidak menangkap apa-apa. 4 Ketika hari mulai siang, Yesus berdiri di pantai; akan tetapi murid-murid itu tidak tahu, bahwa itu adalah Yesus. 5 Kata Yesus kepada mereka: “Hai anak-anak, adakah kamu mempunyai lauk-pauk?” Jawab mereka: “Tidak ada.” 6 Maka kata Yesus kepada mereka: “Tebarkanlah jalamu di sebelah kanan perahu, maka akan kamu peroleh.” Lalu mereka menebarkannya dan mereka tidak dapat menariknya lagi karena banyaknya ikan. 7 Maka murid yang dikasihi Yesus itu berkata kepada Petrus: “Itu Tuhan.” Ketika Petrus mendengar, bahwa itu adalah Tuhan, maka ia mengenakan pakaiannya, sebab ia tidak berpakaian, lalu terjun ke dalam danau. 8 Murid-murid yang lain datang dengan perahu karena mereka tidak jauh dari darat, hanya kira-kira dua ratus hasta saja dan mereka menghela jala yang penuh ikan itu. 9 Ketika mereka tiba di darat, mereka melihat api arang dan di atasnya ikan dan roti. 10 Kata Yesus kepada mereka: “Bawalah beberapa ikan, yang baru kamu tangkap itu.” 11 Simon Petrus naik ke perahu lalu menghela jala itu ke darat, penuh ikan-ikan besar: seratus lima puluh tiga ekor banyaknya, dan sungguhpun sebanyak itu, jala itu tidak koyak. 12 Kata Yesus kepada mereka: “Marilah dan sarapanlah.” Tidak ada di antara murid-murid itu yang berani bertanya kepada-Nya: “Siapakah Engkau?” Sebab mereka tahu, bahwa Ia adalah Tuhan. 13 Yesus maju ke depan, mengambil roti dan memberikannya kepada mereka, demikian juga ikan itu. 14 Itulah ketiga kalinya Yesus menampakkan diri kepada murid-murid-Nya sesudah Ia bangkit dari antara orang mati.

Konteks: Perikop ini merupakan epilog/penutup dari Injil Yohanes. Murid-murid merasakan ketidakpastian setelah mengalami kejadian-kejadian seputar penyaliban Yesus [BKC]. Peristiwa ini merupakan penampakan Yesus yang ketiga kalinya kepada murid-murid-Nya. Penampakan sebelumnya dicatat dalam Yoh. 20:19-23 (tanpa Tomas) dan Yoh. 20:26-29 (dengan Tomas) [TNTC].

Epilog dalam kitab-kitab Injil diakhiri dengan perintah untuk menyebarkan Injil. Injil Matius diakhiri dengan Amanat Agung (Mat. 28:18-20), Injil Markus diakhiri dengan penyebaran berita Injil oleh para murid (Mrk. 16:8 dan Mrk. 16:20), dan Injil Lukas diakhiri dengan perintah Yesus kepada para murid untuk menyampaikan berita pertobatan dan pengampunan dosa ke segala bangsa (Luk. 24:44-53). Demikian pula epilog dari Injil Yohanes menceritakan tema yang sama [NIVAC].

Mukjizat penangkapan ikan dan percakapan di pagi hari menyiratkan perintah kerasulan bagi para murid untuk menjangkau jiwa masuk ke dalam Kerajaan Allah. Roh Kudus, yang telah mereka peroleh (Yoh. 20:22) bukan hanya memberikan jaminan dan penghiburan, tetapi memperlengkapi mereka untuk menjadi saksi di dunia (Yoh. 15:26-27) dan menguatkan mereka di tengah tekanan yang dihadapi ketika menjalankan misi ini (Yoh. 16:7-11) [NIVAC].

Kisah ini sangat terkait erat dengan peristiwa sesudahnya, ketika Tuhan Yesus memulihkan Petrus dan menyuruhnya untuk menggembalakan “domba-domba”-Nya. Ikan (Yoh. 21:1-114) dan domba (Yoh. 21:15-19) melambangkan pekerjaan gereja. Gereja harus menjangkau jiwa (sebagaimana penjala menangkap ikan) dan setelah itu juga memeliharanya (sebagaimana penggembala menggembalakan domba-dombanya) [NIVAC].

Tema Utama: Kita akan menjadi pelayan Tuhan yang efektif jika bersandar pada iman di dalam Kristus dan mengikuti pimpinan-Nya.

Pembahasan Ayat per Ayat:

Ayat 1-3. Beberapa ahli berpendapat bahwa ketika Petrus mau pergi menangkap ikan, itu menunjukkan dia lalai kalau sesungguhnya dia telah diutus oleh Yesus (Yoh. 20:21-23). Namun demikian, Yesus menyuruh para murid untuk pergi ke Galilea dan Dia akan menemui mereka di sana setelah dibangkitkan (Mrk. 14:28; 16:7) [TNTC].

Ayat 4-6. Murid-murid awalnya tidak mengenali Yesus. Tangkapan ikan dalam jumlah besar membuat murid-murid-Nya yakin bahwa orang itu adalah Yesus (peristiwa tersebut mirip dengan mukjizat dalam Luk. 5:1-11). Kejadian ini juga membuktikan bahwa Yesus berkuasa atas alam dan setelah bangkit pun masih bisa melakukan mukjizat [BKC].

Aplikasi: – Jika melakukan kehendak Tuhan, maka kita akan mendapat berkat dari Tuhan [BKC]. Tetapi jangan diartikan bahwa kita tidak akan mengalami penderitaan. Orang yang diberkati Tuhan akan tetap merasakan sukacita walaupun berada di tengah penderitaan.

– Kisah ini juga menunjukkan bahwa Kristuslah yang menjadi pemimpin kita dalam menjalankan misi-Nya sebagai pemberita Injil. Dengan panduan-Nya, kita akan memperoleh “hasil” yang jauh di luar perkiraan kita [NIVAC].

Ayat 7-9. Karena sangat bersemangat, Petrus menceburkan dirinya ke danau untuk menghampiri Yesus. Sementara itu, murid-murid yang lain, termasuk Yohanes, menyusulnya dengan perahu yang penuh tangkapan ikan. Di sini Yohanes menunjukkan bahwa ikan, sebagai berkat dan lambang dari pekerjaan rohani, tidak boleh diabaikan [NIVAC].

Ayat 10-11. Lihat penjelasan mengenai 153 ekor ikan dalam bagian Catatan-Catatan Penting di bawah.

Ayat 12-14. Berbeda dengan Maria (Yoh. 20:14) dan murid-murid yang sedang berjalan ke Emaus (Luk. 24:13-35), semua murid di dalam kisah ini tidak meragukan bahwa orang yang sarapan bersama-sama dengan meraka adalah Yesus. Bertahun-tahun kemudian, dalam khotbahnya, Petrus menyatakan diri sebagai saksi Kristus yang pernah makan dan minum bersama-Nya setelah kebangkitan (Kis. 10:41) [BKC].

Catatan-Catatan Penting:

Danau Tiberias. Danau Tiberias (atau Laut Tiberias) adalah nama lain dari Danau Galilea atau Danau Genesaret (Luk. 6:1). Penyebutan ini dilakukan oleh orang-orang Romawi mengikuti nama Kaisar Tiberius [LAI]. Danau ini terletak sekitar 75 mil di sebelah utara Yerusalem. Betsaida (Ibr. rumah ikan) dan Kapernaum, dua kampung yang sebagian besar penduduknya hidup dari menangkap ikan, terletak di situ [NIVAC].

Murid yang dikasihi Yesus. Kemungkinan besar, dia adalah Yohanes anak Zebedeus, penulis Injil ini.

Seratus lima puluh tiga ekor ikan. Sebagian ahli berpendapat bahwa jumlah seratus lima puluh tiga ini menyimbolkan sesuatu (sistem angka yang menyimbolkan sesuatu disebut dengan gematria, seperti angka “666” dalam Why. 13:18). Huruf dalam bahasa Yunani dan Ibrani memiliki nilai bilangan (dalam bahasa Indonesia seperti A=1, B=2, C=3, dan seterusnya). Kata “Simon” dan “ikan” dalam bahasa Ibrani bila dijumlahkan sebesar 153. Kemudian ada penafsiran lain yang menghubungkannya dengan Yeh.47:9-10, di mana tertulis bahwa ada aliran dari En-Gedi (jika huruf-hurufnya dijumlahkan, hasilnya 17; 153 adalah penjumlahan dari angka 1 sampai 17, 1+2+3+…+17) dan En-Egalaim (jika dijumlahkan huruf-hurufnya, hasilnya 153). Cyril dari Aleksandria berpendapat lain, yaitu angka ini melambangkan 100 penyembah berhala, 50 orang Yahudi, dan Trinitas (100+50+3). [NIVAC]. Apapun itu, semua bersifat spekulasi karena Yohanes sendiri tidak menjelaskan artinya.

Jika demikian, kemungkinan besar jumlah ini ditulis oleh Yohanes sebagai detail sejarah saja sekaligus untuk membuktikan bahwa tangkapan tersebut luar biasa banyak dan Yesus berkuasa atas alam [TNTC]. Orang-orang yang pergi menangkap ikan terbiasa untuk menghitung jumlah ikan yang diperoleh dan kemudian membagi-bagikannya di antara mereka [BKC].

Hasil tangkapan ikan yang melimpah serta panggilan Yesus kepada Petrus untuk mengasihi domba-domba-Nya (Yoh. 21:15-19) menggambarkan misi kerasulan gereja [NIVAC]. Jadi terlihat sekali bahwa maksud dari perikop ini adalah untuk mengarahkan kembali bahwa setelah kebangkitan-Nya, Yesus ingin Petrus dan murid-murid-Nya menjadi “penjala manusia.”

Api arang. Api arang (Yun. Anthrakia; dalam Perjanjian Baru, kata ini hanya muncul di Yoh. 18:18 dan Yoh. 21:9 [NIVAC]) mengingatkan Petrus ketika dia menyangkal Yesus pada malam sebelum penyaliban. Pada waktu itu, dia berdiang di depan api arang bersama-sama para hamba laki-laki dan para pengawal istana (Yoh. 18:18).

“Sesungguhnya” (ayat 18). Frasa “sesungguhnya” (Ing. verily, verily; Yun. amēn, amēn) digunakan sebanyak 25 kali dalam Injil Yohanes. Frasa ini ditujukan kepada pendengar yang sulit untuk percaya. Dengan begitu, pembicara menekankan bahwa apa yang dikatakan adalah benar, sebagaimana Tuhan adalah juga benar [KJV].

Aplikasi: Kita harus mempercayai seluruh isi Alkitab, bukan hanya beberapa baian saja.

Pertanyaan-Pertanyaan Diskusi:

  1. Apakah yang bisa kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari sebagai “penjala manusia?” (Panduan diskusi: Pekerjaan, hobi, bakat, apapun yang kita miliki dalam kehidupan kita, bisa kita gunakan untuk mengenalkan Kristus kepada orang lain).
  2. Dalam kisah ini, murid-murid mendengar langsung perkataan Tuhan Yesus untuk menebarkan jala di sisi kanan perahu. Bagaimana kita bisa mengetahui tuntunan Tuhan bagi pelayanan kita di masa kini?(Panduan diskusi: Alkitab merupakan firman Tuhan yang berotoritas bagi orang percaya masa kini. Namun demikian, kita juga bisa mengetahuinya dari nasihat orang lain, pengalaman hidup, dan kerinduan hati kita. Bahkan mungkin juga Tuhan memberitahukannya secara khusus kepada kita, melalui berbagai peristiwa. Tetapi semuanya harus diuji di dalam kebenaran Alkitab.)
  3. Harus menjadi orang seperti apakah supaya kita bisa dipakai Tuhan untuk menjadi pelayan-Nya yang luar biasa? (Panduan diskusi: bandingkan dengan Petrus, yang pengecut sehingga pernah menyangkal tiga kali, dan murid-murid yang semuanya kocar-kacir dan kehilangan harapan setelah Tuhan Yesus disalib. Namun setelah kebangkitan-Nya dan penampakan-Nya, semuanya menjadi saksi Tuhan yang setia sampai mati. Bukan manusia yang menentukan keberhasilan pelayanan, tetapi Tuhan. Jika kita ingin berhasil dalam pelayanan, maka kita harus bersandar penuh pada Roh Kudus dan taat pada pimpinan Tuhan. Dengan cara seperti itu, apapun kelemahan kita, tidak akan membuat pelayanan kita mundur).

Referensi:

[BKC] Blum, Edwin A. “John.” Dalam The Bible Knowledge Commentary: Gospels. Diedit oleh John F. Walvoord dan Roy B. Zuck. Colorado Springs: David C. Cook, 2018.

[ESV] Dennis, Lane T. dan Wayne Grudem, ed. ESV Study Bible. Wheaton: Crossway, 2008.

[NIVAC] Burge, Gary M. John. The NIV Application Commentary. Grand Rapids: Zondervan, 2000.

[LAI] Alkitab Edisi Studi. Edisi kedua. Jakarta: LAI, 2015.

[TNTC] Kruse, Colin G. John. The Tyndale New Testament Commentary. Surabaya: Momentum, 2007.

The post Mukjizat Menangkap Ikan (Yoh. 21:1-14) first appeared on STUDIBIBLIKA.ID.]]>
https://studibiblika.id/2019/05/17/tafsiran-yohanes-211-14/feed/ 0 41
Surat Titus https://studibiblika.id/2019/05/07/surat-titus/?utm_source=rss&utm_medium=rss&utm_campaign=surat-titus https://studibiblika.id/2019/05/07/surat-titus/#respond Tue, 07 May 2019 00:58:00 +0000 http://studibiblika.id/?p=1259 Setiap orang yang terjun di dalam pelayanan gerejawi tentulah memahami betapa ruwet dan menantangnya pelayanan ini. Pelajarilah surat

The post Surat Titus first appeared on STUDIBIBLIKA.ID.]]>
Setiap orang yang terjun di dalam pelayanan gerejawi tentulah memahami betapa ruwet dan menantangnya pelayanan ini. Pelajarilah surat Paulus kepada Titus sebagai bekal untuk “merevitalisasi” kehidupan gereja dan kehidupan bermasyarakat kita sebagai pengikut Kristus.

Silakan klik link berikut untuk mengunduh PDF-nya:

Surat_Paulus_Kepada_Titus.pdf (studibiblika.id)

The post Surat Titus first appeared on STUDIBIBLIKA.ID.]]>
https://studibiblika.id/2019/05/07/surat-titus/feed/ 0 1259