39 Yesus mengatakan pula suatu perumpamaan kepada mereka: “Dapatkah orang buta menuntun orang buta? Bukankah keduanya akan jatuh ke dalam lobang? 40 Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, tetapi barangsiapa yang telah tamat pelajarannya akan sama dengan gurunya.” (Luk. 6:39-40)
Influencer. Bagi orang yang terbiasa dengan media sosial, istilah ini tentu sudah tidak asing lagi. Mereka adalah orang-orang yang memiliki jumlah follower (pengikut) yang sangat banyak di media sosial, sehingga apapun yang mereka posting akan memengaruhi banyak orang. Anda memiliki hobi memasak, olahraga, atau kuliner? Ingin meningkatkan omzet usaha? Memiliki masalah dengan utang? Hampir semua bidang kini ada influencer-nya Kita tinggal mengikuti tips-tips sukses mereka.
Fenomena ini juga mewabah di kalangan Kristen. Jika dulu orang hanya bisa berkhotbah di mimbar gereja, maka kini bisa dilakukan secara online. Sehingga, kian banyak “influencer rohani.” Jika di dunia luar ada istilah selebgram (selebritas yang eksis di Instagram), maka di dunia Kristen ada istilah pastorgram (orang-orang yang berkhotbah dan membagikan postingan–postingan rohani melalui Instagram). Tidak perlu belajar bertahun-tahun di sekolah teologi. Tidak perlu juga ditahbiskan di sebuah gereja melalui proses pengaderan yang ketat. Asal memiliki kutipan-kutipan “rohani” yang unik dan menarik, maka dia berpotensi untuk menarik hati banyak orang. Setelah jumlah follower-nya banyak, maka dia berkesempatan laris diundang “khotbah” di mana-mana dan berpengaruh besar.
Akibatnya, banyak orang Kristen yang lebih percaya pada ajaran ngawur para “influencer rohani,” dibanding ajaran Injil yang benar dari pendeta mereka sendiri (tentu saya tidak mengatakan semua influencer rohani ngawur, banyak juga yang baik walaupun tidak sekolah teologi). Sedikit demi sedikit, standar kebenaran digeser pada apa yang populer dan bukannya apa yang dinyatakan dalam Alkitab.
Berhati-hatilah! Menyikapi fenomena ini, sangat relevan bagi kita untuk merenungkan sebuah perumpamaan dari Tuhan Yesus mengenai seorang buta yang menuntun orang buta lainnya (ay. 39). Apa jadinya? Kedua orang itu sama-sama akan jatuh ke lubang (ay. 40).
Kebutaan di sini menunjuk pada kebutaan rohani, yaitu orang yang tidak mengenal Tuhan dan kehendak-Nya dengan benar. Salah satunya, apa yang ditampilkan oleh ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi pada waktu itu. Mereka merasa memiliki pengetahuan yang benar dan layak menjadi standar rohani. Padahal, hati mereka sebenarnya jauh dari Allah. Dengan kepiawaian dalam hukum-hukum agama dan kesalehan hidup yang mereka tampilkan (padahal itu adalah kesalehan palsu), mereka menyesatkan banyak orang.
Bagi orang Kristen, satu-satunya influencer yang layak kita ikuti 100% adalah Tuhan Yesus. Memang tidak ada jaminan omzet usaha kita meningkat, bebas utang, atau lebih sehat. Tetapi, apa yang kita dapatkan sebenarnya jauh lebih besar daripada itu semua. Dengan menjadi pengikut-Nya, maka hidup kita akan diubah menjadi hidup yang bermakna sampai kekekalan, apapun kondisi dan panggilan kita sehari-hari. Hal ini tentu tidak mungkin dilakukan oleh influencer di media sosial dan pastorgram yang ajarannya ngawur.
Oleh sebab itu, marilah kita koreksi diri kita. Boleh-boleh saja mengikuti seorang influencer untuk meningkatkan kualitas hidup atau bahkan kerohanian kita. Tetapi awasilah pengaruhnya bagi diri kita, apakah selaras dengan ajaran Tuhan atau tidak. Jangan asal kelihatan menarik dan bermanfaat, lalu kita ikuti mentah-mentah. Tuhan Yesus mengatakan, “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya?” (Mat. 16:26a).
Pertanyaan-Peryanyaan untuk Direnungkan:
- Apa kualitas-kualitas seseorang yang biasa Anda nilai sehingga Anda mau belajar darinya? Apakah cara penilaian Anda yang biasa Anda lakukan tersebut sudah sesuai dengan standar Alkitab?
- Ada orang yang berkata begini, “Tidak peduli bagaimana hidupnya, yang penting khotbahnya benar. Ya sudah, kita belajar saja dari khotbahnya.” Setujukah Anda dengan hal ini?
- Bisakah kita belajar semua segi kehidupan dari Tuhan Yesus? Misalnya, Yesus tidak menikah, apakah kita bisa belajar untuk menjadi kepala keluarga yang baik dari Dia? Juga, Yesus bukanlah “pengusaha sukses,” bisakah kita belajar tentang menjalankan usaha dari Dia? Jelaskan jawaban Anda dengan memberikan contoh!